Website Kuliah: Studi Islam; Pendidikan Islam; Pendidikan Agama Islam; IAIN Palangka Raya

Selasa, 09 Januari 2018

Al-Ghazali : Tasawuf Sunni



Al-Ghazali : Tasawuf Sunni
Oleh : Abdullah, M. Pd. I
A.    Pendahuluan

Tasawuf sebagai disiplin ilmu mampu membuat dan membawa kita untuk meninggalkan segala yang berkaitan dengan duniawi dan fokus pada hal bagaimana kita dapat dekat dengan Tuhan. Banyak cara dan ajaran-ajaran yang digunakan para sufi untuk dapat dekat dengan Tuhan.
Al-Ghazali merupakan tokoh Sufi ayang sangat berpengaruh dalam Islam, Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan AL-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah. Beliau mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dia mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam, yang sebelumnya mengalami ketegangan.
Lebih jauh Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkaan diri dari moral tercela, sehingga qalbu dapat terlepas dari segala sesuatu selain Allah dan dapat berhias dengan selalu mengingat Allah.
Kenikmatan qalb- sebagai alat memperoleh ma’rifat- terletak ketika melihat Allah. Ini merupakan kenikmatan yang paling agung yang tiada taranya, karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan-kenikmatan lain
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah).
Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah sederhana ini dengan Rumusan Masalah sebagai berikut:
  1. Siapakah Al-Ghazali itu?
  2. Bagaimana konsep ajaran Tasawuf Sunni Al-Ghazali?



B.     Biografi Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad  bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’I al-Ghazali. Secara singkat, dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali.[1]Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampong Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran,[2]pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.[3]
Ayah Al-Ghazali adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat menyenangi ulama dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya bernama Ahmad kepada seorang sufi. Kepada sufi itu dititipkan sedikit harta, seray berkata dalam wasiatnya. [4]

Aku menyesal sekali dikarenakan aku tidak belajar menulis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu melalui dua putraku ini”

Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan mengajarkeduanya. Suatu hari harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya. Ia menyarankan pada kedua anak titipan tersebut untuk belajar dimadrasah sekaligus menyambung hidup mereka dengan mengelola madrasah itu.[5]
Di Madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah  di Naisabur, dan di sinilah ia berguru kepada Imam Haramain (Al-juwaini, wafat 478 H/1086 M) hingga menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, dan retorika perdebatan.
Selama berada di Naisabur, Al-Ghazali tidak saja belajar kepada Al-Juawaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktik tasawuf kendati pun hal itu belum mendatangkan pengaruh berarti dalam hidupnya.[6]
Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar ia kuasai, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut, dan ia mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuluki Al-Ghazali Bahr Mu’rif (lautan menghanyutkan). Kecerdasan dan keluasan wawasan berfikir yang dimiliki Al-Ghazali membuatnya menjadi popular. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa diam-diam di hati Imam Haramain timbul rasa iri hingga ia mengatakan:[7]

“Engkau telah memudarkan ketenanganku padahal aku masih hidup, apakah aku mesti menahan diri, padahal ketenaranku telah mati”.

Setelah Imam Haramain wafat (478 H/1086 M), Al-Ghazali pergi ke Baghdad, tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (w. 485 H/ 1091 M). Kota ini merupakan tempat berkumpul, sekaligus diselenggarakan perdebatan-perdebatan antara ulama terkenal. Sebagai seorang menguasai retorikal perdebatan, ia  terpancing untuk melibatkan diri dalam perdebatan-perdebatan itu. Dalam perdebatan-perdebatannya, ternyata ia sering mengalahkan para ulama ternama sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.
Sejak itu nama Al-Ghazali menjadi termasyur di kawasan Kerajaan Saljuk. Kemashuran itu menyebabkan dipilih Nizham Al-Muluk untuk menjaadi guru besar di Unuversitas Nizhamiyah, Baghdad, pada tahun 483 H/1090 M,[8]meskipun usianya baru 30 tahun. Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif  mengadakan perdebatan dengan tokoh paham golongan-golongan yang berkembang waktu itu.
Di balik kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran, semua itu menimbulkan pergolakan dalam dirinya karena tidak memberikan kepuasan batinnya. Untuk itulah, ia memutuskan untuk melepaskan jabatan dan pengaruhnya lalu meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina, kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi,[9] atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah,[10]dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
Karya-karya tulis yang ditinggalkan Al-Ghazali menunjukkan keistemewaannya sebagai seorang pengarang produktif. Dalam seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasehat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naisabur maupu dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang.[11]
Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah, ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Wakktu ia pergunakan untuk mengarang terhitung selama 30 tahun. Dengan perhitungan ini, setiap tahun ia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitabbesar dan kecil, meliputi beberapa lapangan ilmu pengetahuan, antara lain: Filsafat dan ilmu kalam,[12]fiqh, ushul fiqh,[13] tafsir,[14] tasawuf, dan akhlak[15].
Karya-karya Al-Ghazali itu membuat Al-Ghazali tidak mungkin diingkari sebagai seorang pemikir kelas jagad yang amat berpengaruh. Kalangan Islam sendiri banyak menilai bahwa dalam hal ajaran, ia adalah orang kedua yang paling berpengaruh sesudah Rasulullah SAW. Sendiri. Mungkin berlebihan, tetapi banyak unsure yang mendukung kebenaran penilaian serupa itu. Uniknya lagi, pemikiran keagamaanya tidak hanya berpengaruh di kalangan Islam, tetapi juga di kalangan Yahudi dan Kristen. “Titisan” Al-Ghazali dalam pemikiran yahudi tampil dalam pribadi filosof Yahudi besar, Musa bin Maryam (Moses the Maimonides). Karya-karyanya yang amat penting dalam sejaran perkembangan filsafat Yahudi itu dapat sepenuhnya dibaca di bawah sorotan pemikiran Al-Ghazali. Di kalanganKristen abad pertengahan, pengaruh Al-Ghazali merembes melalui filsafat Bonaventura yang dipandang sebagai “titisan” Kristen Al-Ghazali.[16]
Harus diakui juga bahwa banyak literatur yang menyebutkan jasa-jasa Al-Ghazali bagi peradaban Islam. Cyrill Glasse, misalnya, menyebutkan, “Peradaban Islam telah mencapai kematangannya berkat Al-Ghazali.”[17] Suatu penilain yang banyak mendapat dukungan. Namun, tidaklah demikian pandangan lawan-lawannya. Sebagaimana layaknya dalil umum bahwa tidak ada manusia yang sempurna, Al-Ghazali pun tidak lepas dari kekurangan.

C.    Ajaran Tasauf Al-Ghazali
Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan AL-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecendrungan gnotis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Islamiyyah, aliran syiah, ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah  psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya, seperti : Ihya Ulum Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, dan Ayuhal Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkn diri dari moral tercela, sehingga qalbu dapat terlepas dari segala sesuatu selain Allah dan dapat berhias dengan selalu mengingat Allah. Ia juga berpendapat bahwa sosok sufi adalah menempuh jalan kepada Allah. Perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini, tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.[18]
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat karena dianggapnya mempunyai kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Kedua, Syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian, ia menolak tasawuf semi filsafat meskipun ia bersedia memaafkan Al-Hallaj dan Yazid Al-Bustami. Ungkapan-ungkapan yang ganjil itu telah menyebabkan orang-orang Nasrani keliru dalam menilai Tuhannya, seakan-akan Ia berada pada diri Al-Masih.[19]
Al-Ghazali sama sekali menolak paham hulul dan Ittihad. Oleh karena itu, Ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (Taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.[20] Jalan menuju ma’rifat adalah perpaduan ilmudan amal, sementara buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendikripsikan jalan menuju Allah SWT. Ma’rifat menurut persi Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal).
Oleh karena itu , Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dia mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam, yang sebelumnya mengalami ketegangan.
Al-Ghazali menjalakan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai pada ma’rifat yang membantu menciptakan (sa’adah).

1.      Pandangan Al-Ghazali Tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan Harun Nasution, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Allah tentang segala yang ada.[21] Alat memperoleh ma’rifat  bersandar pada sir, qalb, dan roh. Selanjutnya, Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutif dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahuai hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb, dan roh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apa pun. Maka, saat itulah ketiganya menerima illuminasi( kasf) dari Allah. Di waktu itu pula lah, Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah. Di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.[22]
Dalam kitab Ihya ulum Ad-Din ,Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama, dan orang-orang Arif (sufi). Oleh karena itu, ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa Si Fulan ada di dalam rumah. Keyakinan orang awam dibangun atas dasar taklid, dengan hanya mengikuti perkataan orang, bahwa Si Fulan  ada di rumah, tanpa menyelidiki lagi. Bagi ulama, keyakinan adanya  Si Fulan di rumah dibangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang terdengar walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara itu, orang arif  tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara di balik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa Si Fulan  benar-benar berada di dalam rumah.[23]
Ma’rifat seseorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat Si Fulan ada di rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya,  ma’rifat menurut Al-Ghazali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat ulama/mutakallimin, tetapi ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasf Illahi. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai para khawash auliya tanpa melalui perantara, langsung dari Allah, sebagaimana ilimu kenabian yang diperoleh langsung dari Allah, walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara Nabi dan Wali. Nabi mendapat ilmu-ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan Wali mendapat ilmu melalui Ilham. Sekalipun demikian, keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah.

2.      Pandangan Al-Ghazali Tentang  As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagian) itu sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah; nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.[24]
Kenikmatan qalb- sebagai alat memperoleh ma’rifat- terletak ketika melihat Allah. Ini merupakan kenikmatan yang paling agung yang tiada taranya, karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan-kenikmatan lain. Sebagaimana perasaan dapat bertemu presiden akan lebih bangga dan senang daripada perasaan dapat bertemu menteri. Hal ini dapat dianalogikan dengan perasaan kalau dapat berhubungan dengan Allah, Tuhan penguasa alam ini. Seseorang tentunya akan lebih senang dan bangga. Inilah kesenangan dan kebahagiaan sejati yang tiada taranya.
Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihan Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Sebab, qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.[25]

D.    Simpulan
Al-Ghazali karena dilahirkan di kampong Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad, dan wafat tanggal 19 Desember 1111 Masehi,  atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah, dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan AL-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecendrungan gnotis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Islamiyyah, aliran syiah, ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah  psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkn diri dari moral tercela, sehingga qalbu dapat terlepas dari segala sesuatu selain Allah dan dapat berhias dengan selalu mengingat Allah.
Kenikmatan qalb- sebagai alat memperoleh ma’rifat- terletak ketika melihat Allah. Ini merupakan kenikmatan yang paling agung yang tiada taranya, karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan-kenikmatan lain
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah).
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Raziq, Musthafa. 1379 H.  Tahmid li At-Tharikh Al-Falsafah Al-Islamiyyah, Kairo: Mathbah Lajnah.

Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, Jakarta :Bulan Bintang.

Al-Ghazali, Abu Hamid. t.t. Ihya Ulum Ad-din, Kairo: : Maktabah Asy-Syibiyah, Jilid III&IV.

___________________. t.t. Al-Munqidh min Ad-Dhalal, Beirut: Maktabah Asy-Syibiyah.

___________________. t.t.  Kimiya As-Sa’adah, Beirut: Al-Maktabah Asy-Syibiyah

As-Subki. t.t. Thabaqat Asy-Syafi’iyyat Al-Kubra, Mesir : Musthafa Babi Al-Halabi, Juz IV.

Basil, Sa’id, t.t.  Manhaj Al-Bashi an Al-Ma’rifat Inda Al-Ghazali, Beirut : Dar Al-Kitab Al—Banani.

Boer, T.J. De. t.t. The History of Philosopy in Islam, New York : Dover Publication Inc.

Madjid, Nurhalis. 1997. Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina.

Mahmud, Abd. Halim. 1119 H. Qadhiyat At-Tasawwuf Al-Munqidz min Adh-Dhalal, Kairo: Dar Ma’arif.

Nasution, Harun. 1978.  Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Schiemel, Annemarei, 1975. Mystical Dimension of Islam, Capel Hill : The Univesity of North Carolina Press.

Solihin, M. 2003. Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, Bandung : Pustaka Setia.

Usman,Abd. Karim. 1964. Sirat Al-Qhazali,Mesir : Maktabah An-Nahdhah.



[1] Ia dipanggil Abu Hamid kerena ia mempunyai anak laki-laki bernama Abu Hamid. Anak ini meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya Al-Gazali. Karena anak inilah Al-Gazali digelari Abu Hamid. Lihat Sa’id Basil, Manhaj Al-Bashi an Al-Ma’rifat Inda Al-Ghazali, (Beirut : Dar Al-Kitab Al—Banani, t.t), h. 16.
[2]T.J. De Boer, The History of Philosopy in Islam, (New York : Dover Publication Inc, t.t.), h. 155.
[3] Annemarei Schiemel, Mystical Dimension of Islam, (Capel Hill : The Univesity of North Carolina Press, 1975), h. 93.
[4] As-Subki, Thabaqat Asy-Syafi’iyyat Al-Kubra, (Mesir : Musthafa Babi Al-Halabi, Juz IV, t.t),h. 102.
[5] Abd. Halim Mahmud, Qadhiyat At-Tasawwuf Al-Munqidz min Adh-Dhalal, (Kairo: Dar Ma’arif, 1119 H), h. 40.
[6] Dr. M. Solihin, M. Ag., Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hal. 112.
[7] Abd. Karim Usman, Sirat Al-Qhazali, (Mesir : Maktabah An-Nahdhah, 1964), h. 20.
[8] T.J. De Boer, The History…Op.Cit. h. 156.
[9] Musthafa  Abd. Raziq, Tahmid li At-Tharikh Al-Falsafah Al-Islamiyyah, (Kairo: Mathbah Lajnah, 1379 H), h. 42.
[10] Berdasarkan keterangan saudara kandungnya, Ahmad Al-Ghazali, bahwa pada hari senin subuh,ia berwhudhu kemudian shalat, lalu mengatakan:” Saya harus mengenakan kain kafan.” Kemudian mengambil sendiri dan menciumi dan menutup pada kedua matanya seraya mengatakan: “Dengan rasa tunduk dan patuh saya menghadap keharibaan Raj Diraja, kemudian beliau memanjangkan kedua kakinya menhadap kiblat, lalu wafatlah ia sebelum pagi menyingsing.
[11] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, (Jakarta :Bulan Bintang, 1975), h. 57.
[12] Seperti: Maqasid Al-Falsafah, Tahafut AlFalasifah, Al-Munqid min Ad-Dhalal, Qisthas Al-Mustaqim, Hujjat Al-Haq, Mi’yar Al-Ilm, Al-Intishar, dan lai-lain.
[13] Seperti: Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Mustasfa, Al-Manqul, dan lain-lain.               
[14] Seperti: Ya’qut At-Ta’wil fi Tafsil At-Tanjil, dan Jawahir Al-Qur’an.
[15] Diantaranya : Ihya Ulum Ad-Din, Mizan Amal, Kimiya As-Sa’dah, Minhaj Al-‘Abidin, Ar-Risalah Qubsiyyah, Misykat Al-Anwar, dan lain-lain.
[16] Nurhalis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 90
[17] Ibid, h. 87.
[18] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Munqidh min Ad-Dhalal, (Beirut: Maktabah Asy-Syibah, t.t.), h. 75.
[19] Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum Ad-din,(Kairo: : Dar Al-Kutub Islamiyyah, Jilid III, t.t.), h. 350.
[20] Ibid, Jilid IV, h. 263
[21] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 78.
[22] Ibid, h. 77.
[23] Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum… Op.Cit. Jilid III, h. 15.
[24] Abu Hamid Al-Ghazali, Kimiya As-Sa’adah, (Beirut: Al-Maktabah Asy-Syibiyah, t.t.), h. 130-132.           
[25] Ibid, hal. 130. Lihat juga, M. Solihin, Op.cit, h. 111-117.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Web Kuliah Abdullah | Powered by Blogger | Design by ronangelo Theme Editor: Abdullah Jejangkit | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com