Al-Ghazali
: Tasawuf Sunni
Oleh
: Abdullah, M. Pd. I
A.
Pendahuluan
Tasawuf sebagai disiplin ilmu
mampu membuat dan membawa kita untuk meninggalkan segala yang berkaitan dengan
duniawi dan fokus pada hal bagaimana kita dapat dekat dengan Tuhan. Banyak cara dan ajaran-ajaran yang
digunakan para sufi untuk dapat dekat dengan Tuhan.
Al-Ghazali merupakan tokoh Sufi ayang sangat berpengaruh dalam Islam, Dalam
tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan AL-Qur’an
dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah.
Beliau mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dia mampu memadukan antara
ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam, yang sebelumnya
mengalami ketegangan.
Lebih jauh Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai
dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkaan diri dari moral
tercela, sehingga qalbu dapat terlepas dari segala sesuatu selain Allah
dan dapat berhias dengan selalu mengingat Allah.
Kenikmatan qalb- sebagai alat memperoleh ma’rifat- terletak
ketika melihat Allah. Ini merupakan kenikmatan yang paling agung yang tiada
taranya, karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu,
kenikmatannya melebihi kenikmatan-kenikmatan lain
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah
melihat Allah (ru’yatullah).
Untuk lebih jelasnya akan
dibahas dalam makalah sederhana ini dengan Rumusan Masalah sebagai berikut:
- Siapakah Al-Ghazali itu?
- Bagaimana konsep ajaran Tasawuf Sunni Al-Ghazali?
B.
Biografi Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’I al-Ghazali. Secara
singkat, dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali.[1]Ia
dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampong Ghazlah, suatu kota di
Khurasan, Iran,[2]pada
tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di
Baghdad.[3]
Ayah Al-Ghazali adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat
menyenangi ulama dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Menjelang
wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya bernama Ahmad kepada
seorang sufi. Kepada sufi itu dititipkan sedikit harta, seray berkata dalam
wasiatnya. [4]
“Aku menyesal sekali dikarenakan aku tidak belajar menulis, aku
berharap untuk mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu melalui dua putraku
ini”
Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan
mengajarkeduanya. Suatu hari harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu
lagi memberi makan keduanya. Ia menyarankan pada kedua anak titipan tersebut
untuk belajar dimadrasah sekaligus menyambung hidup mereka dengan mengelola madrasah
itu.[5]
Di Madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin
Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan di sinilah ia berguru kepada
Imam Haramain (Al-juwaini, wafat 478 H/1086 M) hingga menguasai ilmu manthiq,
ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, dan retorika perdebatan.
Selama berada di Naisabur, Al-Ghazali tidak saja belajar kepada
Al-Juawaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf
kepada Yusuf An-Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktik tasawuf
kendati pun hal itu belum mendatangkan pengaruh berarti dalam hidupnya.[6]
Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar ia kuasai,
termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut, dan ia mampu
memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya
dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuluki Al-Ghazali Bahr Mu’rif (lautan
menghanyutkan). Kecerdasan dan keluasan wawasan berfikir yang dimiliki
Al-Ghazali membuatnya menjadi popular. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan
bahwa diam-diam di hati Imam Haramain timbul rasa iri hingga ia mengatakan:[7]
“Engkau telah memudarkan ketenanganku padahal aku masih hidup,
apakah aku mesti menahan diri, padahal ketenaranku telah mati”.
Setelah Imam Haramain wafat (478 H/1086 M), Al-Ghazali pergi ke Baghdad,
tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (w. 485 H/ 1091 M). Kota ini
merupakan tempat berkumpul, sekaligus diselenggarakan perdebatan-perdebatan
antara ulama terkenal. Sebagai seorang menguasai retorikal perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam
perdebatan-perdebatan itu. Dalam perdebatan-perdebatannya, ternyata ia sering
mengalahkan para ulama ternama sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui
keunggulan Al-Ghazali.
Sejak itu nama Al-Ghazali menjadi termasyur di kawasan Kerajaan Saljuk.
Kemashuran itu menyebabkan dipilih Nizham Al-Muluk untuk menjaadi guru besar di
Unuversitas Nizhamiyah, Baghdad, pada tahun 483 H/1090 M,[8]meskipun
usianya baru 30 tahun. Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif mengadakan perdebatan dengan tokoh paham
golongan-golongan yang berkembang waktu itu.
Di balik kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran, semua itu
menimbulkan pergolakan dalam dirinya karena tidak memberikan kepuasan batinnya.
Untuk itulah, ia memutuskan untuk melepaskan jabatan dan pengaruhnya lalu
meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina, kemudian ke Mekah untuk mencari
kebenaran. Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama
kemudian ia menghembuskan nafasnya terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember
1111 Masehi,[9]
atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah,[10]dengan
meninggalkan banyak karya tulisnya.
Karya-karya tulis yang ditinggalkan Al-Ghazali menunjukkan
keistemewaannya sebagai seorang pengarang produktif. Dalam seluruh masa
hidupnya, baik sebagai penasehat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad,
baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naisabur maupu dalam keyakinan yang
mantap, ia tetap aktif mengarang.[11]
Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah, ia
mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Wakktu ia
pergunakan untuk mengarang terhitung selama 30 tahun. Dengan perhitungan ini,
setiap tahun ia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitabbesar dan
kecil, meliputi beberapa lapangan ilmu pengetahuan, antara lain: Filsafat dan
ilmu kalam,[12]fiqh,
ushul fiqh,[13]
tafsir,[14]
tasawuf, dan akhlak[15].
Karya-karya Al-Ghazali itu membuat Al-Ghazali tidak mungkin diingkari
sebagai seorang pemikir kelas jagad yang amat berpengaruh. Kalangan Islam
sendiri banyak menilai bahwa dalam hal ajaran, ia adalah orang kedua yang
paling berpengaruh sesudah Rasulullah SAW. Sendiri. Mungkin berlebihan, tetapi
banyak unsure yang mendukung kebenaran penilaian serupa itu. Uniknya lagi,
pemikiran keagamaanya tidak hanya berpengaruh di kalangan Islam, tetapi juga di
kalangan Yahudi dan Kristen. “Titisan” Al-Ghazali dalam pemikiran yahudi tampil
dalam pribadi filosof Yahudi besar, Musa bin Maryam (Moses the Maimonides).
Karya-karyanya yang amat penting dalam sejaran perkembangan filsafat Yahudi itu
dapat sepenuhnya dibaca di bawah sorotan pemikiran Al-Ghazali. Di
kalanganKristen abad pertengahan, pengaruh Al-Ghazali merembes melalui filsafat
Bonaventura yang dipandang sebagai “titisan” Kristen Al-Ghazali.[16]
Harus diakui juga bahwa banyak literatur yang menyebutkan jasa-jasa
Al-Ghazali bagi peradaban Islam. Cyrill Glasse, misalnya, menyebutkan,
“Peradaban Islam telah mencapai kematangannya berkat Al-Ghazali.”[17] Suatu
penilain yang banyak mendapat dukungan. Namun, tidaklah demikian pandangan
lawan-lawannya. Sebagaimana layaknya dalil umum bahwa tidak ada manusia yang
sempurna, Al-Ghazali pun tidak lepas dari kekurangan.
C.
Ajaran Tasauf Al-Ghazali
Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang
berdasarkan AL-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah
wa Al-Jamaah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecendrungan gnotis
yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Islamiyyah, aliran syiah,
ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham
ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga
dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak
tasawufnya adalah psikomoral yang
mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya,
seperti : Ihya Ulum Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah
Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, dan Ayuhal Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan
mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkn diri dari moral tercela,
sehingga qalbu dapat terlepas dari segala sesuatu selain Allah dan dapat
berhias dengan selalu mengingat Allah. Ia juga berpendapat bahwa sosok sufi
adalah menempuh jalan kepada Allah. Perjalanan hidup mereka adalah yang
terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang
paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil
dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini, tidak ada lagi
cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.[18]
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat karena dianggapnya
mempunyai kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriah, hanya
mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan
Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Kedua, Syathahat merupakan
hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian, ia
menolak tasawuf semi filsafat meskipun ia bersedia memaafkan Al-Hallaj dan
Yazid Al-Bustami. Ungkapan-ungkapan yang ganjil itu telah menyebabkan
orang-orang Nasrani keliru dalam menilai Tuhannya, seakan-akan Ia berada pada
diri Al-Masih.[19]
Al-Ghazali sama sekali menolak paham hulul dan Ittihad. Oleh
karena itu, Ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan
diri kepada Allah (Taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan
dengan-Nya.[20]
Jalan menuju ma’rifat adalah perpaduan ilmudan amal, sementara buahnya
adalah moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendikripsikan
jalan menuju Allah SWT. Ma’rifat menurut persi Al-Ghazali diawali dalam
bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian
rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal).
Oleh karena itu , Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dia
mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqh, dan
ilmu kalam, yang sebelumnya mengalami ketegangan.
Al-Ghazali menjalakan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan
berolah jiwa, sehingga sampai pada ma’rifat yang membantu menciptakan (sa’adah).
1.
Pandangan Al-Ghazali
Tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan Harun Nasution, ma’rifat adalah
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Allah tentang segala
yang ada.[21]
Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan roh.
Selanjutnya, Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutif
dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahuai hakikat segala yang ada.
Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan
dengan sir, qalb, dan roh yang telah suci dan kosong, tidak berisi
apa pun. Maka, saat itulah ketiganya menerima illuminasi( kasf) dari
Allah. Di waktu itu pula lah, Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi
sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah. Di sini sampailah ia ke tingkat
ma’rifat.[22]
Dalam kitab Ihya ulum Ad-Din ,Al-Ghazali membedakan jalan
pengetahuan sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama, dan orang-orang Arif
(sufi). Oleh karena itu, ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa Si
Fulan ada di dalam rumah. Keyakinan orang awam dibangun atas dasar taklid, dengan
hanya mengikuti perkataan orang, bahwa Si Fulan ada di rumah, tanpa menyelidiki lagi. Bagi
ulama, keyakinan adanya Si Fulan di
rumah dibangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang terdengar
walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara itu, orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui
suara di balik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan
menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa Si Fulan benar-benar berada di dalam rumah.[23]
Ma’rifat seseorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana
ia melihat Si Fulan ada di rumah dengan mata kepalanya sendiri.
Ringkasnya, ma’rifat menurut
Al-Ghazali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat ulama/mutakallimin,
tetapi ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasf
Illahi. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai para khawash auliya tanpa
melalui perantara, langsung dari Allah, sebagaimana ilimu kenabian yang diperoleh
langsung dari Allah, walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara Nabi
dan Wali. Nabi mendapat ilmu-ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan
Wali mendapat ilmu melalui Ilham. Sekalipun demikian, keduanya sama-sama
memperoleh ilmu dari Allah.
2.
Pandangan Al-Ghazali
Tentang As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah
melihat Allah (ru’yatullah). Dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia
menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagian) itu sesuai dengan watak
(tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata
terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah; nikmatnya telinga terletak
ketika mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh,
masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.[24]
Kenikmatan qalb- sebagai alat memperoleh ma’rifat- terletak
ketika melihat Allah. Ini merupakan kenikmatan yang paling agung yang tiada
taranya, karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu,
kenikmatannya melebihi kenikmatan-kenikmatan lain. Sebagaimana perasaan dapat
bertemu presiden akan lebih bangga dan senang daripada perasaan dapat bertemu
menteri. Hal ini dapat dianalogikan dengan perasaan kalau dapat berhubungan
dengan Allah, Tuhan penguasa alam ini. Seseorang tentunya akan lebih senang dan
bangga. Inilah kesenangan dan kebahagiaan sejati yang tiada taranya.
Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang
setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihan Tuhan
bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati.
Sebab, qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah karena dapat
keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.[25]
D.
Simpulan
Al-Ghazali karena dilahirkan di kampong Ghazlah, suatu kota di Khurasan,
Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih
kekuasaan di Baghdad, dan wafat tanggal 19 Desember 1111 Masehi, atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun
505 Hijriah, dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang
berdasarkan AL-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah
wa Al-Jamaah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecendrungan gnotis
yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Islamiyyah, aliran syiah,
ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham
ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga
dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak
tasawufnya adalah psikomoral yang
mengutamakan pendidikan moral.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan
mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkn diri dari moral tercela,
sehingga qalbu dapat terlepas dari segala sesuatu selain Allah dan dapat
berhias dengan selalu mengingat Allah.
Kenikmatan qalb- sebagai alat memperoleh ma’rifat- terletak
ketika melihat Allah. Ini merupakan kenikmatan yang paling agung yang tiada
taranya, karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu,
kenikmatannya melebihi kenikmatan-kenikmatan lain
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah
melihat Allah (ru’yatullah).
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Raziq, Musthafa. 1379
H. Tahmid li At-Tharikh Al-Falsafah
Al-Islamiyyah, Kairo: Mathbah Lajnah.
Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat
Hidup Imam Al-Ghazali, Jakarta :Bulan Bintang.
Al-Ghazali,
Abu Hamid. t.t. Ihya Ulum Ad-din, Kairo: : Maktabah Asy-Syibiyah, Jilid
III&IV.
___________________. t.t. Al-Munqidh
min Ad-Dhalal, Beirut: Maktabah Asy-Syibiyah.
___________________. t.t. Kimiya As-Sa’adah, Beirut: Al-Maktabah
Asy-Syibiyah
As-Subki. t.t. Thabaqat
Asy-Syafi’iyyat Al-Kubra, Mesir : Musthafa Babi Al-Halabi, Juz IV.
Basil, Sa’id, t.t. Manhaj Al-Bashi an Al-Ma’rifat Inda
Al-Ghazali, Beirut : Dar Al-Kitab Al—Banani.
Boer, T.J. De. t.t. The
History of Philosopy in Islam, New York : Dover Publication Inc.
Madjid, Nurhalis. 1997. Kaki
Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina.
Mahmud, Abd. Halim. 1119 H.
Qadhiyat At-Tasawwuf Al-Munqidz min Adh-Dhalal, Kairo: Dar Ma’arif.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta:
Bulan Bintang.
Schiemel, Annemarei, 1975. Mystical
Dimension of Islam, Capel Hill : The Univesity of North Carolina Press.
Solihin, M. 2003. Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, Bandung : Pustaka
Setia.
Usman,Abd. Karim. 1964. Sirat
Al-Qhazali,Mesir : Maktabah An-Nahdhah.
[1] Ia
dipanggil Abu Hamid kerena ia mempunyai anak laki-laki bernama Abu Hamid. Anak
ini meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya Al-Gazali. Karena anak
inilah Al-Gazali digelari Abu Hamid. Lihat Sa’id Basil, Manhaj Al-Bashi an
Al-Ma’rifat Inda Al-Ghazali, (Beirut : Dar Al-Kitab Al—Banani, t.t), h. 16.
[2]T.J. De
Boer, The History of Philosopy in Islam, (New York : Dover Publication
Inc, t.t.), h. 155.
[3] Annemarei
Schiemel, Mystical Dimension of Islam, (Capel Hill : The Univesity of
North Carolina Press, 1975), h. 93.
[4]
As-Subki, Thabaqat Asy-Syafi’iyyat Al-Kubra, (Mesir : Musthafa Babi
Al-Halabi, Juz IV, t.t),h. 102.
[5] Abd.
Halim Mahmud, Qadhiyat At-Tasawwuf Al-Munqidz min Adh-Dhalal, (Kairo:
Dar Ma’arif, 1119 H), h. 40.
[6] Dr. M. Solihin, M. Ag., Tokoh-tokoh
Sufi Lintas Zaman, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hal. 112.
[7] Abd.
Karim Usman, Sirat Al-Qhazali, (Mesir : Maktabah An-Nahdhah, 1964), h.
20.
[8] T.J. De
Boer, The History…Op.Cit. h. 156.
[9] Musthafa Abd. Raziq, Tahmid li At-Tharikh
Al-Falsafah Al-Islamiyyah, (Kairo: Mathbah Lajnah, 1379 H), h. 42.
[10] Berdasarkan
keterangan saudara kandungnya, Ahmad Al-Ghazali, bahwa pada hari senin subuh,ia
berwhudhu kemudian shalat, lalu mengatakan:” Saya harus mengenakan kain kafan.”
Kemudian mengambil sendiri dan menciumi dan menutup pada kedua matanya seraya
mengatakan: “Dengan rasa tunduk dan patuh saya menghadap keharibaan Raj Diraja,
kemudian beliau memanjangkan kedua kakinya menhadap kiblat, lalu wafatlah ia
sebelum pagi menyingsing.
[11] Zainal
Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, (Jakarta :Bulan Bintang,
1975), h. 57.
[12] Seperti:
Maqasid Al-Falsafah, Tahafut AlFalasifah, Al-Munqid min Ad-Dhalal, Qisthas
Al-Mustaqim, Hujjat Al-Haq, Mi’yar Al-Ilm, Al-Intishar, dan lai-lain.
[13] Seperti:
Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Mustasfa, Al-Manqul, dan lain-lain.
[14] Seperti:
Ya’qut At-Ta’wil fi Tafsil At-Tanjil, dan Jawahir Al-Qur’an.
[15] Diantaranya
: Ihya Ulum Ad-Din, Mizan Amal, Kimiya As-Sa’dah, Minhaj Al-‘Abidin,
Ar-Risalah Qubsiyyah, Misykat Al-Anwar, dan lain-lain.
[16] Nurhalis
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 90
[17] Ibid,
h. 87.
[18] Abu
Hamid Al-Ghazali, Al-Munqidh min Ad-Dhalal, (Beirut: Maktabah Asy-Syibah,
t.t.), h. 75.
[19] Abu
Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum Ad-din,(Kairo: : Dar Al-Kutub Islamiyyah,
Jilid III, t.t.), h. 350.
[20] Ibid,
Jilid IV, h. 263
[21] Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 78.
[22] Ibid,
h. 77.
[23]
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum… Op.Cit. Jilid III, h. 15.
[24] Abu
Hamid Al-Ghazali, Kimiya As-Sa’adah, (Beirut: Al-Maktabah Asy-Syibiyah,
t.t.), h. 130-132.
[25] Ibid,
hal. 130. Lihat juga, M. Solihin, Op.cit, h. 111-117.
0 komentar:
Posting Komentar