Islam di Nusantara: Sejarah dan
Perkembangan
Oleh: Abdullah, M. Pd.I
A.
Pendahuluan
Islam dalam penyebarannya memberikan sumbangan besar bagi peradaban dunia
baik yang menyangkut iptek maupun kebudayaan. Ketika Islam datang ke nusantara,
Nusantara sudah mempunyai peradaban lokal, pengaruh dari Hindu dan Budha dari
India. Walaupun demikian ketika Islam datang, Islam dengan mudah menyebar ke
pelosok nusantara. Hal ini disebabkan Islam yang dibawa oleh para dai yang
datang ke nusantara menawarkan sebuah ajaran dan peradaban yang jauh lebih maju
dari pada peradaban lokal, dalam bidang teologi Islam menawarkan bentuk
monoteisme yang mudah dipahami masyarakat, dalam pranata sosial Islam
memberikan solusi tegas bahwa setiap manusia itu sama dihadapan Tuhan, Islam
tidak mengenal sistem kasta dan feodalisme begitu pula dalam bidang sufistik
Islam menawarkan konsep yang jauh lebih maju dan mendasar dibandingkan dengan
klenik lokal yang dipengaruhi Hindu Budha..
Dengan datangnya Islam ke nusantara, masyarakat lokal mengalami
transformasi sosial, dari agraris feodal ke masyarakat urban yang egaliter dan
humanis. Ini dapat dibuktikan pada hakekatnya peradaban Islam hakikatnya adalah
urban perkotaan, yang penyebaran awalnya memang di pelabuhan-pelabuhan
perkotaan yang mendapat restu dari istana, yang kemudian istana menjadi pusat
pengembangan intelektual, politik ekonomi dengan pengaruh Islam, dari Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Nusantara menjadi maju terutama dalam bidang perdagangan, demikian juga
hubungan dengan internasional dengan negara-negara Timur Tengah, dari kontak
inilah proses Islamisasi dan transformasi yang belum selesai datanglah pedagang
Barat, sehingga transformasi keislaman menjadi terganggu, hingga muncullah
kolonialisme/penjajahan.
Problematika Islam di Nusantara secara historis teoritis mengandung
banyak versi, misalnya sejarah awal masuknya dan perkembangan. Oleh karena itu
para sarjana sering berbeda pendapat. Kita harus mengakui bahwa penulis sejarah
di Nusantara dimulai oleh para orientalis barat yang berusaha meminimalis peran
Islam dan sekaligus memojokkannya. Sungguh pun demikian masih ada
sarjana-sarjana muslim yang menulis tentang Islam di Nusantara dengan
mengemukakan fakta sejarah yang lebih jujur.
Suatu kenyataan kedatangan Islam di Nusantara dilakukan secara damai.
Penyebaran oleh para pedagang kemudian para dai dan pengembaraan para sufi dan
orang yang terlibat dakwah pertama ini tidak mempunyai tedensi apapun kecuali
menunaikan kewajiban, tiada pamrih, sehingga nama-nama mereka tidak tercatat
dalam dokumen atau prasasti dan dilembah luasnya wilayah nusantara.
Dari latar belakang masalah di atas dapat penulis membuat suatu rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Apa sajakah Teori-teori kedatangan
Islam di Nusantara?
2.
Bagaimana perkembangan Islam pada
masa Kerajaan Islam, Masa kolonialisme, maupun pasca kemerdekaan di Nusantara?
B. Teori-teori
tentang kedatangan Islam di Nusantara
Para sejawan masih
saling berdebat tentang kapan, siapa, dan di mana Islam pertama kali
diperkenalkan ke wilayah Nusantara Indonesia. Posisi Indonesia yang terletak
pada jalur perdagangan strategis yang menghubungkan dua kutub kebudayaan besar
dunia saat itu: Cina di timur dan India
serta jazirah Arab di barat, membuat sulit dipastikan, siapa yang pertama kali
membawa Islam ke Indonesia. Wilayah Indonesia yang luas dan berpulau-pulau
membuat kepastian di mana pertama kali wilayah Indonesia menerima Islam, sulit
dipastikan. Maka, bukan hal yang aneh jika banyak teori yang berusaha mengungkap
pertanyaan-pertanyaan ini.
Dr. Saifuddin, M.
Ag. dalam sebuah artikel yang temuat dalam harian Banjarmasin Post, terbit 2 Nopember 2010,
dengan judul “Menemukan Identitas Islam Nusantara”, menyebutkan mengenai
datangnya Islam ke Nusantara setidaknya ada dua teori, Pertama , Teori
menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 H/ 13 M. dan yang Kedua,
teori yang menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara pada abad ke-1 H/7 M.[1]
Untuk lebih
jelasnya akan dipaparkan lebih detail beberapa
teori tersebut:
1. Teori
Arab
Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam datang
langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Teori ini dikemukakan Crawfurd
(1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878).[2] Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang
langsung dari Arab, meskipun ia menyebut adanya hubungan dengan orang-orang
Mohameddan di India Timur. Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir
yang bermadzhab Syafii, sama seperti yang dianut kaum muslimin nusantara
umumnya. Teori ini juga dipegang oleh Niemann dan de Hollander, tetapi dengan
menyebut Hadramaut, bukan Mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebab muslim
Hadaramaut adalah pengikut madzhab Syafii seperti juga kaum muslimin nusantara.
Sedangkan Veth hanya menyebut orang-orang Arab, tanpa
menunjuk asal mereka di Timur Tengah maupun kaitannya dengan Hadramaut, Mesir
atau India.[3] Teori yang sama juga diajukan
oleh Hamka dalam seminar ‘Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia’ pada tahun 1963.
Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab (Makkah), bukan dari
India). Hamka mendasarkan teorinya pada fakta yang berasal dari Berita Cina
Dinasti Tang. Berita ini mengungkapkan bahwa pada sekitar 618-907 M telah
ada pemukiman pedagang Arab Islam di pantai Barat Sumatra. Dari berita ini,
Hamka menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M dan berasal
langsung dari Arab. Sedangkan berdirinya kerajaan Samudra Pasai pada 1275 M
atau abad ke-13 M merupakan perkembangan agama Islam.
Sebagian ahli
Indonesia setuju dengan
teori Arab ini.
Dalam seminar yang
diselenggarakan pada 1969
dan 1978 tentang
kedatangan Islam ke
Indonesia disimpulkan bahwa Islam ke Indonesia langsung dari Arab, tidak
dari India; bukan pada abad ke-12 atau
ke-13, melainkan pada abad pertama hijrah atau abad ke-7 Masehi.
Menurut Arnold,
bahwa untuk menetapkan masuknya agama Islam ke Indonesia dengan tepat tidaklah
mungkin. Ada kemungkinan dibawa ke Indonesia oleh pedagang-pedagang Arab pada
permulaan abad tahun hijriah, lama sebelum ada tulisan-tulisan sejarah tentang
perkembangan Islam itu.[4] Pendapat yang demikian itu berdasarkan
pengertian kita tentang ramainya perdagangan dengan dunia Timur yang sejak
dahulu dilakukan oleh orang Arab. Pada abad ke 2 sebelum masehi perdagangan
dengan Ceylon seluruhnya ada di tangan mereka. Pada permulaan abad ke 7,
perdagangan dengan Tiongkok melalui Ceylon sangat ramai sehingga pada
pertengahan abad ke 8 banyak kita jumpai pedagang Arab di Canton, sedang antara
abad 10 dan 15 sampai datangnya orang Portugis, mereka telah menguasai
perdagangan di Timur. Diperkirakan bahwa mereka sejak lama telah mendirikan
tempat-tempat perdagangan pada beberapa kepulauan di Indonesia, sebagaimana
halnya pada tempat-tempat lainnya, meskipun tentang kepulauan itu tidak
disebut-sebut oleh ahli ilmu bumi Arab sebelum abad ke 9, menurut berita
Tiongkok tahun 674 masehi ada kabar tentang seorang pembesar Arab yang menjadi
kepala daerah pendudukan bangsa Arab di pantai Barat Sumatera.[5]
Sebagian besar
dari pedagang Arab yang berlayar ke kawasan Indonesia datang dari Yaman,
Hadramaut dan Oman di bagian Selatan dan Tenggara semenanjung tanah Arab.
Kawasan Yaman telah memeluk Islam semenjak tahun 630-631 hijriyah tepatnya pada
zaman Ali bin Abi Thalib. Pengislaman Yaman ini mempunyai implikasi yang besar
terhadap proses Islamisasi Asia Tenggara karena pelaut dan pedagang Yaman
menyebarkan agama Islam di sekitar pelabuhan tempat mereka singgah di Asia
Tenggara.[6]
Sedangkan Sayed Alwi bin Tahir al-Haddad, mufti
kerajaan Johor Malaysia berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dalam
abad ke 7 masehi atau dengan kata lain agama Islam masuk ke pulau Sumatera pada
tahun 650 masehi. Alasannya adalah karena Sulaiman as-Sirafi, pedagang dari
pelabuhan Siraf di teluk Persia yang pernah mengunjungi Timur jauh berkata
bahwa di Sala (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu yaitu
kira-kira pada akhir abad ke 2 hijriyah. Hal ini dapat dipastikan dan tidak
perlu dijelaskan lagi karena pedagang rempah dan wangi-wangian yang terdapat di
Maluku sangat menarik pedagang-pedagang muslimin untuk berkunjung ke Maluku dan
tempat-tempat yang berdekatan dengan kepulauan itu.[7]
2. Teori Gujarat.
Teori yang mengatakan bahwa Islam di nusantara
datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872.
Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo,
dan Ibnu Batutah, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermadzhab Syafii
dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Dia
mendukung teorinya ini dengan menyatakan bahwa, melalui perdagangan, amat
memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah lagi
dengan umumnya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India, digunakan oleh
masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan
oleh Snouk Hurgronye yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di India
Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah nusantara.[8] Teori Snock Hurgronye ini lebih lanjut
dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Dengan menunjuk tempat yang pasti di
India, ia menyatakan dari sanalah Islam datang ke nusantara. Ia menunjuk pantai
Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang muslim dalam
pelayaran mereka menuju nusantara.[9]
3. Teori Benggali
Teori ketiga yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa
Islam datang dari Benggali (Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome Pures
yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang
Benggali atau keturunan mereka. Dan Islam muncul pertama kali di semenanjung
Malaya dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11,
melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia beralasan bahwa
doktrin Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang. Elemen-elemen
prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ditemukan di Leran.
Drewes, yang mempertahankan teori Snouck, menyatakan bahwa teori Fatimi ini
tidak bisa diterima, terutama karena penafsirannya atas prasasti yang ada
dinilai merupakan perkiraan liar belaka. Lagi pula madzhab yang dominan di
Benggali adalah madzhab Hanafi, bukan madzhab Syafii seperti di semenanjung dan
nusantara secara keseluruhan.[10]
4. Teori Persia.
Teori keempat
tentang kedatangan Islam di nusantara adalah teori Persia. Pembangun teori ini
di Indonesia adalah Hoesein Djayadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang
masuknya agama Islam ke nusantara berbeda dengan teori India dan Arab,
sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Madzhab Syafii-nya.
Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di
kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan
Persia.[11]
Kesamaan
kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain : Pertama,
peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syiah atas kematian
syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di
Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain. Di Sumatera Tengah
sebelah Barat, disebut bulat Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda
Husain untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perariran lainnya. Keranda
tersebut disebut tabut diambil dari bahasa Arab.
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara ajaran
syaikh Siti Jenar dengan ajaran sufi al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj telah
meninggal pada 310 H/922 M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk
puisi, sehingga memungkinkan syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat
mempelajarinya.
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam
mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian al-quran
tingkat awal. Dalam bahasa Persi Fathah ditulis jabar-zabar, kasrah ditulis
jer-zeer, dhammah ditulis p’es-py’es. Huruf sin yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan sin bergigi
berasal dari Arab.
Keempat, nisan pada makam Malikus Saleh
(1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai
kesamaan mutlak dengan teori Gujarat. Tetapi sangat berbeda jauh dengan
pandangan CE Morisson.[12]
Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap
madzhab Syafii sebagai madzhab yang paling utama di daerah Malabar. Dalam
masalah madzhab Syafii, Hoesein Djayadiningrat mempunyai kesamaan dengan GE
Morrison, tetapi berbeda dengan teori Arab yang dikemukakan oleh Hamka. Hoesein
Djayadiningrat di satu pihak melihat salah satu budaya Islam Indonesia kemudian
dikaitkan dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang madzhab Syafii
terhenti ke Malabar, tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat madzhab Syafii di
Makkah.
5. Teori Cina.
Islam disebarkan dari Cina telah dibahas oleh SQ
Fatimi.[13] Beliau mendasarkan teorinya
ini kepada perpindahan orang-orang Islam dari Canton ke Asia tenggara
sekitar tahun 876 M. Perpindahan ini dikarenakan adanya pemberontakan yang
mengorbankan hingga 150.000 muslim. Menurut Syed Naguib Alatas, tumpuan mereka
adalah ke Kedah dan Palembang.[14]
Hijrahnya mereka
ke Asia Tenggara telah membantu perkembangan Islam di kawasan ini. Selain
Palembang dan Kedah, sebagian mereka juga menetap di Campa, Brunei, pesisir
timir tanah melayu (Patani, Kelantan, Terengganu dan Pahang) serta Jawa Timur. Bukti-bukti
yang menunjukan bahwa penyebaran Islam dimulai dari Cina adalah ditemukannya :
batu nisan syekh Abdul Kadir bin Husin syah Alam di Langgar, Kedah bertarikh
903 M, batu bertulis Phan-rang di Kamboja bertahun 1025 M, batu nisan di pecan
Pahang bertahun 1028 M, batu nisan puteri Islam Brunei bertahun 1048 M, batu
bersurat Trengganu bertahun 1303 M dan batu nisan Fathimah binti Maimun di Jawa
Timur bertarikh 1082 M.
Walaupun dari
kelima teori ini tidak terdapat titik temu, namun mempunyai persamaan pandangan
yakni Islam sebagai agama yang dikembangkan di Nusantara melalui jalan damai.
Dan Islam tidak mengenal adanya missi sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan
Kristen atau Katolik.
Penulis dapat
menyimpulkan dari beberapa teori tersebut secara garis besar perbedaan pendapat
tentang teori masuknya Islam ke Nusantara dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Pendapat
pertama yang pelopori sarjana-sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouck
Hongronje yang berpendapat Islam datang ke Nusantara melalui Gujarat India
(bukan dari arab) pada abad 13 M dengan bukti ditemukannya makam sultan yang beragama
Islam pertama Malik As-Sholeh, Sultan pertama kerajaan Samudra Pasai yang
dikatakannya berasal dari Gujarat.
2. Pendapat kedua
dikemukakan sarjana-sarjana muslim sendiri yang dipelopori Prof. Hamka yang
pada seminar masuknya Islam di Nusantara di Medan tahun 1963 mengatakan bahwa
Islam masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah ( ± abad ke 7 sampai 8
masehi) langsung dari arab dengan bukti bahwa jalur pelayaran internasional
sudah ramai dan jauh dari abad ke 13 yaitu dimulai abad 7 sampai 8 M melalui
selat malaka yang menghubungkan dinasti Tang di China dan Sriwijaya di Timur
dengan Bani Umaiyah di Asia barat.
3. Sarjana muslim
kontemporer yang dipelopori Taufiq Abdullah dan Kunto Wijoyo yang berusaha
mengkompromikan kedua pendapat di atas, memang benar Islam sudah datang ke
nusantara pada abad 7 sampai 8 M, namun baru dianut oleh sekelompok timur
tengah di kota pelabuhan-pelabuhan, dan Islam masuk secara besar-besaran pada
abad ke 13 M yang dianut oleh para raja dan menjadi kekuatan politik (samudra
pasai) hal ini sebagai arus balik dari hancurnya Baghdad dari serangan Hulagu
pada tahun 656 M/1258 M, sehingga pedagang muslim mengalihkan aktivitas
perdagangannya ke Asia Selatan, Tenggara dan Timur.[15]
C. Terbentuknya
Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
Kerajaan Islam di Indonesia
diperkirakan kejayaannya berlangsung antara abad ke-13
sampai dengan abad ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan
tersebut didorong oleh maraknya lalu lintas perdagangan laut dengan
pedagang-pedagang Islam
dari Arab,
India,
Persia,
Tiongkok,
dan lain-lain. Kerajaan tersebut dapat dibagi menjadi berdasarkan wilayah pusat
pemerintahannya, yaitu di Sumatera, Jawa, Maluku, dan Sulawesi.
1. Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera
Kerajaan Islam pertama di
Nusantara adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar.
Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculannya sebagai
kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai
hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi
pedagang Muslim sejak abad ke-7 M, ke-8 M, dan seterusnya.[16]
Samudera Pasai terus
berkembang di bawah pimpinan Al-Malik Al Salih. Beliau mempunyai semangat yang
kuat untuk menyebarkan Dakwah Islamiyah, dan baginda memainkan peranan yang
penting dalam menyebarkan agama Islam, akan tetapi sejarah tidaklah menyebut
dengan detail tentang usaha-usaha beliau mengembangkan Dakwah Islamiyah dan
sejauh mana kejayaannya.
Kerajaan Samudera pasai
berlangsung sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukkan
oleh Portugis yang menduduki selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 dianeksasi oleh Raja Aceh, Ali
Mahmud Syah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada di bawah kesultanan
Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.[17]
Sementara itu Islam di
kerajaan Aceh yang juga terletak di ujung sumatera juga mengalami perkembangan,
menurut H.J. de Graaf, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi bagian
wilayah Aceh dan pergantian agama diperkirakan terjadi mendekati pertengahan
abad ke-14. menurutnya kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan
kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-Kamal.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masanya Aceh
menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan Barat Sumatera. Dari Aceh,
Tanah Gayo yang berbatasan juga diislamkan, juga Minangkabau. Hanya orang-orang
kafir Batak yang berusaha menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang datang, bahkan
mereka melangkah begitu jauh sampai minta bantuan kepada Portugis.
2. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
Perkembangan Islam di Jawa bersamaan
waktunya dengan melemahnya posisi Raja Majapahit. Hal itu memberi peluang
kepada penguasa-penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan
yang independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, Wali Songo bersepakat
mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak, kerajaan Islam
pertama di Jawa, dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurahman Panembahan Palembang
Sayidin Panatagama.
Pemerintahan Raden Patah
berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Dikatakan ia
adalah seorang anak raja Majapahit dari seorang ibu Muslim keturunan Campa. Ia digantikan oleh anaknya, Sambrang Lor,
dikenal juga dengan nama Pati Unus.
Di wilayah Pajang juga
berkembang kerajaan Islam yaitu Kesultanan Pajang yang dipandang sebagai
pewaris kerajaan Islam Demak. Kesultanan yang terletak di daerah Kartasura
sekarang itu merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman
Pulau Jawa. Sultan atau raja pertama kerajaan ini adalah Jaka Tingkir yang
berasal dari Pengking, di lereng Gunung Merapi. Oleh Raja Demak ketiga, Sultan
Trenggono, Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa di Pajang.
Dari kerajaan Pajang ini
kemudian tumbuh kerajaan Mataram. Kerajaan ini bermula ketika Sultan Adiwijaya
dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah
pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang. Sebagai
hadiahnya sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan yang
menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian.
Kerajaan Islam lainnya di
pulau Jawa yaitu Kesultanan Cirebon yang pertama di Jawa Barat didirikan oleh
Sunan Gunung Jati, dan Kerajaan Banten yang dipimpin oleh putera Sunan Gunung
Jati yaitu Sultan Hasanuddin.
3. Kerajaan-kerajaan Islam di
Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi
Masuknya Islam di Kalimantan
agak sulit pada waktu itu untuk berada pada satu kekuasaan. Daerah barat laut
menerima Islam dari Malaya, daerah timur dari Makassar dan wilayah Selatan dari
Jawa.Di Kalimantan Selatan berdiri kerajaan Banjar yang merupakan kelanjutan
dari kerajaan Daha yang beragama Hindu. Peristiwa ini dimulai ketika terjadi
pertentangan dalam keluarga istana, yaitu antara Pangeran Samudera dan pamannya
Pangeran Tumenggung. Pada waktu itu Pangeran Samudera meminta bantuan ke Kesultanan
Demak untuk menghadapi pamannya Pangeran Tumenggung. Kesultanan Demak akan
membantu Pangeran Samudera dengan syarat mereka harus masuk Islam. Pangeran
Samudera sendiri setelah masuk Islam diberi nama Sultan Suryanullah atau Sultan
Suriansyah. Peristiwa ini terjadi sekitar Tahun 1526 M.
Di Kutai Kalimantan Timur
Islam berkembang pada masa pemerintahan Raja Mahkota. Penyebar Islam di Kutai
adalah Tuan di Bandang yang dikenal dengan Dato’ Ri Bandang dari Makassar dan
Tuan Tunggang Parangan, Proses Islamisasi
di Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 15 75.
Islam juga mencapai kepulauan
rempah-rempah yang sekarang dikenal dengan Maluku ini pada pertengahan terakhir
abad ke-15. sekitar tahun 1460 M, raja Ternate memeluk agama Islam, nama
rajanya adalah Vongi Tidore. Di masa itu, gelombang perdagangan Muslim terus
meningkat, sehingga raja menyerah kepada tekanan para pedagang muslim itu dan
memutuskan belajar tentang Islam pada madrasah Giri. Karena usia Islam masih
muda di Ternate, Portugis yang tiba di sana tahun 1522 M, berharap dapat
menggantikannya dengan agama Kristen. Harapan itu tidak terwujud, usaha mereka
hanya mendatangkan hasil yang sedikit.
Sementara itu Islam di
Sulawesi juga telah sampai, pada waktu itu Kerajaan Gowa-Tallo tampil sebagai
pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Ternate yang
telah menerima Islam dari Gresik/Kediri. Dibawah pemerintahan Sultan Babullah,
Ternate mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gowa-Tallo. Ketika itulah, raja
Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa-Tallo untuk menganut agama Islam,
tetapi gagal. Baru pada waktu Datu’ Ri Bandang datang ke kerajaan Gowa-Tallo,
agama Islam mulai masuk kerajaan ini. Alauddin (1591-1636 M) adalah sultan
pertama yang masuk Islam tahun 1605.
Penyebaran Islam di Sulawesi
sesuai dengan tradisi yang telah lama di teruma oleh para raja, keturunan To
Manurung. Tradisi itu mengharuskan seorang raja untuk memberitahukan “hal baik”
kepada yang lain. Karena itu, kerajaan kembar Gowa-Tallo menyampaikan “pesan
Islam” kepada kerajaan-kerajaan lain seperti Luwu, yang lebih tua, Wajo,
Soppeng, dan Bone. Raja Luwu segera menerima “pesan Islam itu”. Sementara itu,
tiga kerajaan : Wajo, Soppeng, dan Bone yang terikat dalam aliansi Tallumpoeco
(tiga kerajaan) dalam perebutan hegemoni dengan Gowa-Tallo, Islam kemudian
melalui peperangan.[18]
D.
Islam di Nusantara pada
Masa Kolonialisme dan Pasca Kemerdekaan
Di
Indonesia sebelum berdiri Negara Kesatuan
RI tahun 1945, terdapat
banyak sekali penguasa-penguasa daerah
atau wilayah yang dinamakan kerajaan
atau kesultanan atau
lainnya. Setiap penguasa
bebas untuk melakukan ekspansi ke wilayah penguasa lain dalam
rangka untuk memperluas wilayah dan memperbesar kekuasaan
mereka, asal mereka
kuat. Siapa yang
kuat, dia yang mempunyai kekuasaan
luas dan besar.
Suatu kerajaan atau
kesultanan setelah berdiri
kemudian tumbuh, berkembang
dalam waktu lama,
namun bisa juga
menjadi kecil kembali
bahkan mati karena
dikalahkan oleh penguasa
lain. Besar kecilnya
kerajaan tergantung pada raja
yang memerintah. Keadaan
seperti itu terjadi
terus silih berganti. Waktu itu, di wilayah Indonesia
tidak ada satu kekuatan yang tetap yang menjadi super power.
1. Masa Kolonialisme
Setelah datang
bangsa Barat khususnya
Belanda dengan VOC-nya,
muncul kekuatan baru di
Indonesia di samping
kerajaan-kerajaan. Kekuatan baru
ini pun berusaha untuk mengembangkan usahanya. Dalam rangka
itu, sering terjadi
bentrokan-bentrokan dan peperangan-peperangan dengan
kerajaan-kerajaan tersebut. Politik devide
et impera dilakukan
Belanda untuk memperluas
wilayah dan memperbesar kekuasaannya. Perang-perang
terhadap Belanda selalu
diakhiri dengan perjanjian
yang selalu merugikan pihak
kerajaan. Dalam suatu
perjanjian paling sedikit
Belanda mendapat hak monopoli dalam perdagangan, lebih dari itu Belanda
memperoleh sebagian bahkan bisa seluruh
wilayah suatu kerajaan,
dan Belanda diakui
sebagai penguasa di atasnya. Usaha dari pihak kerajaan maupun rakyat
untuk mengusir Belanda dari
wilayah suatu kerajaan karena
dirasa sangat menekan
dan merugikan, sering
terjadi yang dilakukan oleh
seorang raja dan
atau keluarga raja.
Perang-perang itu dilakukan
sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Perlawanan-perlawanan itu antara
lain perlawanan oleh Sultan Hasanuddin
dari Sulawesi Selatan,
Sultan Agung dari
Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa
dari Banten, Diponegoro
dari Jawa Tengah,
Pangeran Antasari dari Banjar, Imam Bonjol dari Sumatra Barat,
dan Teuku Umar dari Aceh. Perang-perang
itu yang masih bersifat kedaerahan dapat disebut sebagai rasa proto
nasionlisme di kalangan mereka. Mereka bersatu untuk bersama-sama melawan
Belanda, bahkan sering terjadi di antara
kerajaan-kerajan digunakan oleh
Belanda untuk bersamanya
melawan suatu kerajaan. Karena
kalahnya persenjataan pihak
kerajaan, dan karena
taktik dan politik devide et
impera Belanda, maka
kerajaan-kerajaan yang mengadakan
perlawanan mengalami
kekalahan. Akhirnya semua
kerajaan di Indonesia
setelah kalahnya Aceh pada
tahun 1904 berada
di bawah kekuasaan
Belanda.[19]Tahun 1905
Belanda mencanangkan Pax
Neerlandica, bahwa seluruh
wilayah Nusantara sebagai
wilayah Hindia Belanda menjadi satu pengawasan keamanan oleh Belanda.[20]
Perjuangan melawan penjajah Belanda
terus berlangsung hingga selanjutnya orang-orang Islam Indonesia mulai
menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkopetesi dengan kekuatan-kekuatan
yang menentang dari pihak kolonialisme Belanda. Oleh karena itu, pada permulaan
abad ke-19, orang-orang Islam mulai melakukan perubahan-perubahan dalam
melanjutkan perjuangan kemerdekaan dan menegagkan Islam dengan gerakan
pendidikan dan sosial serta gerakan politik.
Guna meningkatkan kemakmuran dan
kemajuan rakyat tanah jajahan, Belanda menggunakan politik Etnis, yaitu politik
Balas budi. Politik tersebut digunakan agar Bangsa Indonesia percaya akan
maksud Belanda menguasai Indonesia. Maka pemerintah Belanda merumuskan
politik pengajaran bagi masyarakat Hindia Belanda khususnya bagi golongan
priyayi mulai dari tingkat rendah hingga menengah. Pendidikan yang ingin
dikembangkan untuk memenuhi perangkat Birokrasi kolonial, malah menimbulkan
kolompok baru yang bisa mengancam landasan kolonial itu sendiri. Mereka pun
tampil sebagai seorang nasionalis yang anti kolonial dan menciptakan
terbentuknya bangsa baru Indonesia di atas tumpukan-tumpukan etnis lama.
Di abad ini, peranan Islam sudah
tidak lagi sebatas pada tingkat-tingkat rakyat pedesaan. Akan tetapi sudah
berkembang di kota-kota yang mendapatkan pengaruh Barat untuk mendapatkan
tumpuk kepemimpinan dalam gerakan-gerakan politik baru. Dan Islam di kota pun
mulai terbentuk dan tumbuh secara revolusi yang mempunyai daya tahan yang lebih
kuat dari gejala-gejala politik pada
dasa warsa pertama abad ini dan meninggalkan kerangka Islam Indonesia di bawah
pemerintahan kolonial. Pada masa kolonial Belanda, perjuangan-perjuangan yang
dilakukan umat Islam akibat diberlakukannya politik etnis yaitu membentuk suatu organisasi-organisasi Islam, guna
membendung sepak terjang kolonial Belanda, antara lain Budi Utomo 1908 M, SDI
(Sarekat Dagang Islam) 1909 M, Sarekat Islam (SI) 1912 M, Muhammadiyyah 1912 M,
Persatuan Islam (Persis) 1920 M, Nahdatul Ulama (NU) 1926 M.[21]
Nasionalisme dalam arti politik baru muncul setelah H. Samanhudi
menyerahkan tampuk kepemimpinan Organisasi sosial Sarekat Dagang Islam(SDI)
pada bulan Mei 1942 kepada HOS Tjokroaminoto yang mengubah nama dan sifat
organisasi serta mempeluas ruang
geraknya. Sebagai organisasi politik pelopor nasionalisme Indonesia, partai
Sarekat Islam (SI) pada dekade pertama adalah organisasi politik besar besar
yang merekrut anggotanya dari berbagai kelas dan aliran yang ada di Indonesia.
Waktu itu ideologi bangsa memang belum beragam, semua bertekad mencapai
kemerdekaan. Ideologi mereka adalah persatuan dan anti-kolonialisme.
Perkembangan selanjutnya terdapat tiga kekuatan politik yang mencerminkan
tiga Aliran Ideologi : Islam, Komunisme, dan nasionalis”sekuler”, ketiga
ideiologi tersebut mengalami ketegangan dan mengalami polimek.[22]
Kemunduran progresif yang di
alami partai-partai Islam seakan mendapat dayanya kembali setelah Jepang dan
datang menggantikan posisi Belanda. Jepang berusaha mengakomodasi dua kekuatan.
Islam dan Nasionalis “sekuler” ketimbang pimpinan tradisonal. Jepang
berpendapat bahwasanya organisasi Islamlah yang mempunyai masa paling banyak
dan patuh hanya dengan pendekatan agamalah penduduk Indonesia dapat
dimobilisasi. Oleh karena itu organisasi-organisasi besar seperti
Muhammadiyyah, NU, Perserikatan Ulama Majalengka, Majelis Islam A’la Indonesia
dan Masyumi diperkenankan untuk menerukan kegiatannya. Sampai-sampai Masyumi
mendirikan barisan hizbullah, sebuah wadah kemiliteran bagi santri dan pembela
tanah air pun banyak mendominasi dari golongan santri.[23]
Bagi golongan Nasionalis
dibentuk lembaga-lembaga baru, seperti Gerakan Tiga A (Nippon Cahaya Asia,
Nippon pelindung Asia, Nippon pemimpin Asia) yang hanya berumur beberapa bulan
sejak mei 1942 m dan Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) yang didirikan bulan maret
1943. Usaha pengembangan Poetera baru dimulai pada bulan April 1943. Sebagai
pemimpin tertingginya adalah Sukarno yang dibantu Mohammad Hatta, Ki Hajar
Dewantara, dan K.H. mas Mansur. Mereka dikenal sebagai empat serangkai pemimpin
bangsa. Dari empat serangkai itu, tercermin bahwa tokoh nasionalis sekular lebih
dominan dalam gerakan kebangsaan daripada golongan Islam.[24]
Pada
tahun 1944 M, golongan Nasionalis Sekular mengalami merosot sehingga tidak
mampu menyaingi Masyumi yang menjalin hubungan erat dengan semua pimpinan
kelompok Islam. Akan tetapi perkembangan berikutnya berbalik arah ketika
menjelang proklamasi, terutama setelah terbentuknya BPUPKI oleh Jepang banyak
memberikan porsi yang lebih besar kepada golongan Nasionalis Sekuler yang lazim
disebut golongan kebangsaan daripada golongan Islam yang sebelumnya mendapat
pelayanan lebih besar dari Jepang, karena Jepang menginginkan yang memegang
kendali politik Indonesia setelah merdeka dari golongan Nasionalis Sekuler.
Sehingga dalam persaingan kepemimpinan nasional, golongan Islam gagal
menandingi popularitas golongan nasionalis sekuler terutama Bung Karno dan Bung
Hata.
2. Pasca Kemerdekaan
Selama
hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia memasuki masa-masa
revolusi (1945-1950 M). Menyusul kekalahan
Jepang oleh sekutu, Belanda bermaksud untuk kembali menduduki kepulauan
Nusantara. Dan tidak diragukan lagi bahwa para pendiri republik merasa harus
menyerahkan tenaga dan kemampuanya untuk mempertahankan Republik Indonesia yang
baru berdiri dan mencegah Belanda untuk
kembali berkuasa.
Meskipun
tidak ada bentrokan di sana-sini, kedua belah pihak; Islam dan nasionalis dapat
mengembangkan hubungan politik yang relatif harmonis diantara mereka biarpun
berbeda ideologi. Sedangkan kelompk nasionalis memegang kepemimpinan.
Dalam
sidang Komite Nasional Indonesia (KNPI) tanggal 25, 26, dan 27 Nopember 1945 M,
yang dipimpin oleh Sultan Syahril membahas agas Indonesia menggarap soal
keagamaan dalam satu kementerian tersendiri dan tidak menjadi tanggungjawab
kementerian pendidikan. Dalam revolusi, konflik ideologi tidak begitu jelas,
tetapi dapat dirasakan dan disaksikan melalui pergantian kabinet yang silih
berganti. Di dalam konstituante hasil pemilu itu, dialog mengenai ideologi
kembali muncul secara terbuka.
Tiga
kekuatan ideologi tersebut di atas memunculkan tiga alternatif dasar Negara; Islam. Pancasila,
dan Sosial ekonomi. Akan tetapi perdebadan ideologi mengenai alasan Negara
terkristal menjadi Islam dan Pancasila.
Usaha-usaha
partai Islam untuk menegakkan Islam sebagai ideologi Negara dalam konstituante
mengalami jalan buntu. Demikian juga dengan Pancasila yang umat Islam waktu itu
dipandang sebagai milik kaum “anti muslim” setidak-tidaknya di dalam
konstituate. Sehingga pekerjaan untuk mengahiri maslah tersebut muncullah
Dekrit Presiden 1959, konstituate dinyatakan bubar dan UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali.
Disebabkan ada perdebatan-perdebatan
yang sengit akan dijadikannya suatu ideologi Negara. Oleh karena itu, maka
didirikannya suatu kementerian Agama
yang sekurangnya sudah menjadi suatu Departemen Agama yang didirikan
pada tanggal 3 Januari 1946 yang dibentuk oleh Kabinet Syahrir sedangkan Menteri Agama yang
pertama adalah M.Rasyidi.
Peperangan
Umat Islam pada masa klasik sebenarnya
peperangan antara saudara yang mana salah satu di antara mereka tercampuri oleh
tangan Belanda untuk memperoleh yang mereka inginkan berupa kekuasaan. Seperti
peperangan Diponegoro berperang melawan patihnya Danu Rejo yang bersahabat
dengan Belanda. Kaum Paderi dengan kaum adat dan dalam peperangan periode
klasik ini mempunyai tujuan yang hampir sama yaitu pemurnian agama Islam.
Sedangkan
dalam gerakan modern Islam sudah mempunyai organisasi-organisasi yang
mengedepankan keintelektualan dan politik guna memerangi imperialisme Barat.
Gerakan ini murni dari para rakyat yang tidak menginginkan akan penjajahan
serta penindasan yang dilakukan oleh bangsa
imperialisme terhadap rakyat dan bangsa Indonesia.
PerjuanganUmat
Islam pasca kemerdekaan adalah mempertahankan Ideologi keIslaman dengan kaum
nasionalis terutama mengenai Piagam Jakarta (Pancasila) sehingga keluarlah
Dekrit Presiden 1959 yang menyatakn Konstituante bubar dan UUD 1945 dinyatakan
berlaku kembali.[25]
E. Simpulan
Para sejawan masih
saling berdebat tentang kapan, siapa, dan di mana Islam pertama kali
diperkenalkan ke wilayah Nusantara Indonesia. Secara garis besar perbedaan
pendapat tentang teori masuknya Islam ke Nusantara dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1. Pendapat
pertama yang pelopori sarjana-sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouck
Hongronje yang berpendapat Islam datang ke Nusantara melalui Gujarat India
(bukan dari arab) pada abad 13 M dengan bukti ditemukannya makam sultan yang
beragama Islam pertama Malik As-Sholeh, Sultan pertama kerajaan Samudra Pasai
yang dikatakannya berasal dari Gujarat.
2. Pendapat kedua
dikemukakan sarjana-sarjana muslim sendiri yang dipelopori Prof. Hamka yang
pada seminar masuknya Islam di Nusantara di Medan tahun 1963 mengatakan bahwa
Islam masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah ( ± abad ke 7 sampai 8
masehi) langsung dari arab dengan bukti bahwa jalur pelayaran internasional
sudah ramai dan jauh dari abad ke 13 yaitu dimulai abad 7 sampai 8 M melalui
selat malaka yang menghubungkan dinasti Tang di China dan Sriwijaya di Timur
dengan Bani Umaiyah di Asia barat.
3. Sarjana muslim kontemporer
yang dipelopori Taufiq Abdullah dan Kunto Wijoyo yang berusaha mengkompromikan
kedua pendapat di atas, memang benar Islam sudah datang ke nusantara pada abad
7 sampai 8 M, namun baru dianut oleh sekelompok timur tengah di kota
pelabuhan-pelabuhan, dan Islam masuk secara besar-besaran pada abad ke 13 M
yang dianut oleh para raja dan menjadi kekuatan politik (samudra pasai) hal ini
sebagai arus balik dari hancurnya Baghdad dari serangan Hulagu pada tahun 656
M/1258 M, sehingga pedagang muslim mengalihkan aktivitas perdagangannya ke Asia
Selatan, Tenggara dan Timur.
Perang-perang dilakukan sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20 masih
bersifat kedaerahan dapat disebut sebagai rasa proto nasionlisme di kalangan kerajaaan.
Mereka bersatu untuk bersama-sama melawan Belanda, bahkan sering terjadi di
antara kerajaan-kerajan digunakan
oleh Belanda untuk
bersamanya melawan suatu kerajaan. Karena
kalahnya persenjataan pihak
kerajaan, dan karena
taktik dan politik devide et
impera Belanda, maka
kerajaan-kerajaan yang mengadakan
perlawanan mengalami
kekalahan.
Selanjutnya orang-orang Islam
Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkopetesi dengan
kekuatan-kekuatan yang menentang dari pihak kolonialisme Belanda. Oleh karena
itu, pada permulaan abad ke-19 ini, orang-orang Islam mulai melakukan
perubahan-perubahan dalam melanjutkan perjuangan kemerdekaan dan menegakkan
Islam dengan gerakan pendidikan dan sosial serta gerakan politik
Perkembangan selanjutnya
menjelang kemerdekaan terdapat tiga kekuatan politik yang mencerminkan tiga
Aliran Ideologi : Islam. Komunisme, dan nasionalis”sekuler”, ketiga ideiologi
tersebut mengalami ketegangan dan mengalami polimek. ketika menjelang
proklamasi, terutama setelah terbentuknya BPUPKI oleh Jepang. banyak memberikan
porsi yang lebih besar kepada golongan Nasionalis Sekuler yang lazim disebut
golongan kebangsaan daripada golongan. Sehingga dalam persaingan kepemimpinan
nasional, golongan Islam gagal menandingi popularitas golongan nasiolis sekuler
terutama Bung Karno dan Bung Hata.
PerjuanganUmat Islam pasca
kemerdekaan adalah mempertahankan Ideologi keIslaman dengan kaum nasionalis
terutama mengenai Piagam Jakarta (Pancasila) sehingga keluarlah Dekrit Presiden
1959 yang menyatakan Konstituante bubar dan UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Taufiq. 1991. Sejarah Umat Islam di Indonesia,. Jakarta : MUI
Al-atas, Syed Nagib 1969. Preliminary Statement on a General Theory
of the Islamization of Malay-Indonesian Archipelago. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Alwi, Sayed bin Thahir al-Haddad. 1957. Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh.
Jakarta: Maktab al-Daimi.
Arnold, TW. 1935. The Preaching of Islam, A
History of the Propogation of the Muslim Faith. London: Luzac &
Company.
Azra, Azyumardi. 2005. Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Prenada
Media.
_______________. 1999. Renaisans Islam Asia
Tenggara Sejarah Wacana & Kekuasaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Fatimi, SQ
1963. Islam Comes to Malaysia. Singapore: Malaysian Sociological
Reseach Institude, Ltd.
GWJ Drewes. 1985. “New Light on the Coming of Islam
in Indonesia”, compiled by Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Hussain,
Readings on Islam in Southeast Asia. Singapore: Institue of Southeast
Asia Studies.
Karim, M.
Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta : Pustaka
Book.
Mahayudin, Hj. Yahya & Ahmad Jelani Halimi. 1993. Sejarah
Islam. Pulau Penang: Fajar Bakti SDN.BHD.
Pradjoko, Didik, M.Hum, dkk. 2008. Modul I
Sejarah Indonesia : Hibah Modul Pengajaran :
Content Development Tema B1. Depok : Universitas Indonesia.
Saifuddin. “Menemukan Identitas Islam Nusantara”,
Banjarmasin post 02 Nopember 2011.
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta :
Rajawali Press.
[1] Untuk lebih jelas lihat Artikel tersebut
dalam Banjarmasin Post terbitan 02
Nopember 2010.
[2] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII.
(Jakarta: Prenada Media, 2005) h. 27.
[3] Azyumardi Azra, Renaisans
Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana & Kekuasaan. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1999) h. 31.
[4] TW Arnold, The Preaching of Islam, A History of
the Propogation of the Muslim Faith, (London: Luzac & Company, 1935)
h. 363.
[5] Arnold, The Preaching of Islam,…Ibid, h. 363-364
[6] Mahayudin Hj. Yahya & Ahmad Jelani Halimi, Sejarah
Islam. (Pulau Penang: Fajar Bakti SDN.BHD, 1993) h. 559.
[7] Sayed Alwi bin Thahir al-Haddad, Sejarah
Perkembangan Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Maktab al-Daimi, 1957) h. 21.
[8] Azra, Renaisans Islam..., Op. Cit, h. 32
[9] Azra, Renaisans Islam...,Loc.Cit
[10]
Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah… 25-26
[11] GWJ Drewes, New Light on the Coming of Islam in
Indonesia, compiled by Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Hussain, Readings
on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institue of Southeast Asia
Studies, 1985) h. 7-19.
[12] Morrisson.CE, The Coming of Islam to East Indies,
JMBRAS, 24. ,I, (1951), Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah… op.cit.
h. 26.
[13] Fatimi SQ, Islam Comes to Malaysia,
(Singapore: Malaysian Sociological Reseach Institude, Ltd, 1963). H.31-32
[14] Syed Nagib Alatas, Preliminary Statement on a
General Theory of the Islamization of Malay-Indonesian Archipelago, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969) h. 11.
[16]
Dr. Badri Yatim. M.A., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Rajawali
Press, 2008), h. 205.
[17]
Ibid. h. 205
[18]
Ibid. h. 209-224.
[19]
Walapun sebenarnya peperangan terus berlangsung baik secara perorangan maupun
kelompok, sampai belanda meninggalkan Indonesia tahun 1942 M. (lihat : Prof.
Dr. M. Abdul karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta :
Pustaka Book, 2007), h. 232.
[20] Didik Pradjoko, M.Hum, dkk, Modul I Sejarah
Indonesia : Hibah Modul Pengajaran :
Content Development Tema B1. (Depok : Universitas
Indonesia, 2008), h. 26-38.
[21]Prof. Dr. M. Abdul karim, Sejarah…
Op.cit., h. 232.
[22] Dr. Badri Yatim. M.A., Sejarah…
Op.cit. h. 260.
[23] Prof. Dr. M. Abdul karim, Sejarah…
Op.cit., h. 235.
[24] Dr. Badri Yatim. M.A., Sejarah…
Op.cit. h. 264.
[25] Prof. Dr. M. Abdul karim, Sejarah…
Op.cit., h. 236- 238.
0 komentar:
Posting Komentar