Website Kuliah: Studi Islam; Pendidikan Islam; Pendidikan Agama Islam; IAIN Palangka Raya

Selasa, 09 Januari 2018

Hadits Shahih dan Permasalahannya



Hadits Shahih dan Permasalahannya
Oleh: Abdullah, M. Pd. I

A.     Pendahuluan
Sudah menjadi ketetapan  dikalangan umat Islam bahwa Hadits merupakan sumber hokum Islam kedua setelah Alquran. Nabi Muhammad SAW diutus Allah dengan tujuan menjelaskanayat-ayat Allah dalam alquran sebagai pedoman hidup manusia. Penjelasan Nabi terhadap Alquran dalam terminologi ulama dikenal dengan sebutan hadits. Sikap terhadap Hadits seperti ini nampak terlihat sejak masa Nabi Muhammad hidup, masa shahabat, tabiin bahkan sampai saat ini. Pada masa Nabi masih hidup, para shahabat jika menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat Alquran atau menemukan problema yang tidak mereka temukan penyelesaiannya dalam Hadits, mereka langsung bertanya kepada Nabi sebagai personifikasi Hadits. Hal ini sebagaimana yang mereka lakukan tatkala merekamenemukan keberatan dan kesulitan dalam memahami kata al-zhulm dalam Alquran Surat al-An’am ayat 82 berikut:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ.
Artinya : orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Kemudian Rasul menjawab kesulitan yang dirasakan para shahabat dengan menyebutkanbahwa maksud kata al-zhulm dalam ayat tersebut adalah syirk.
Dengan kaidah dan ilmu hadits itu, ulama mengadakan pembagian kualitas hadis. Diantara kaidah yang telah di ciptakan oleh ulama adalah kesahihan sanad hadis yakni  segala syarat yang harus di penuhi oleh suatu sanad hadits yang berkualitas sahih. Segala syarat atau kriteria itu melengkapi seluruh bagian sanad.
Dalam tulisan ini, penulis berupaya hadits shahih beserta permasalahannya sehingga kita bisa mengetahui kriteria suatu hadits dipandang shahih yang berimplikasi pada kehujjahannya sebagai salah satu sumber hukum Islam disamping al-Qur'an dan Ijtihad.

B.     Pengertian Hadits Shahih
Sahih menurut bahasa lawan kata سقيم (sakit), yaitu sehat.[1] Kata Shahih juga telah menjadia kosakata bahasa Indonesia dengan arti “sah;benar; sempurna sehat; pasti”.[2] Sedangkan menurut istilah, Ulama hadits dari kalangan al-Mutaqaddimin, yakni ulama hadits sampai abad ke 3 H, belum memberikan pengertian definisi yang eksplisit (sarih) tentang hadits shahih. kemudian secara metaforis dipakai juga untuk mensifati sesuatu selain tubuh. Mareka pada umumnya  hanya memberikan penjelasan tentang penerimaan berita yang dapat diberpegangi, pernyataan-pernyataan mereka, misalnya berbunyi : “Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits, terkecuali yang berasal dari orang-orang yang stiqat.[3] Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadits, Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta, mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengerti hadits yang diriwayatkannya. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang ditolak kesaksiannya.
Ibnu Al-Shalah (wafat 643 H = 1245 M), salah seorang ulama hadits al-Muta’akhirin yang memiliki banyak pengaruh dikalangan ulama hadis sezamannya, telah memberikan definisi atau pengertian hadits shahih sebagai berikut :
أما الحديث الصحيح : فهو الحديث المسند الذى يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا.
“Adapun hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, (didalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz) dan cacat (‘illat).[4]
Dari definisi atau pengertian hadis sahih pembahasan diatas dapat disimpulkan:
1.      Sanad bersambung;
2.      Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil;
3.      Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith;
4.      Sanad hadis itu terhindar dari syudzudz; dan
5.      Sanad hadis itu terhindar dari ‘illat.

C.    Syarat-syarat Hadis Sahih
Ulama hadits dalam menetapkan dapat diterimanya suatu hadits tidak hanya mensyaratkan hal-hal yang berkaitan dengan rawi hadits saja. Hal ini, disebabkan karena hadit sampai kepada kita melalui mata rantai yang teruntai dalam sanad-nya. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits disela-sela matarantai tersebut. Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui mana hadits yang dapat diterima dan mana hadits yang harus ditolak.Pada umumnya para pakar hadits mengklasifikasikan hadits kedalam tiga bentuk, yaitu: shahih, hasan dan dha'if.[5] Adapun hadits maudhu' tidak termasuk dalam pembagian tersebut, karena pada dasarnya itu bukan hadits. Penyebutannya sebagai hadits hanya dikatakan oleh orang yang suka membuatnya.[6]
Kriteria kesahihan hadits yang banyak diikuti oleh para pakar hadits adalah yang dikemukakan oleh Ibn Shalah yang menyebutkan lima kriteria keotentikan hadits, yaitu:


1. Sanad-nya bersambung.
Kata ittishal berarti bersambung atau berhubungan. Sanad-nya bersambung artinya setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang sebelumnya dan begitu selanjutnya sampai pada rawi yang pertama. Dengan demikian menurut al-Suyuti, hadits munqati, mu'dhal, mu'allaq, mudallas dan mursal tidak termasuk kategori hadits shahih karena sanad-nya tidak bersambung.[7] Sementara al-Bukhari berpendapat bahwa suatu hadits bisa disebut sanad-nya bersambung apabila murid dan guru atau rawi pertama dengan rawi kedua benar-benar pernah bertemu mesti hanya sekali. Sementara menurut Muslim, sanad hadits dapat disebut bersambung apabila ada kemungkinan bertemu bagi kedua rawi di atas. Hal ini bisa terjadi apabila keduanya hidup dalam satu kurun waktu dan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh menurut ukuran saat itu, meskipun keduanya belum pernah bertemu sama sekali.[8]
Berdasarkan hal diatas, syarat yang dikemukakan al-Bukhari lebih ketat daripada yang ditetapkan oleh Muslim. Hal ini menjadikan karya shahih al-Bukhari menempati peringkat pertama dalam hirearki kitab hadits yang paling shahih.[9] Untuk mengetahui bersambungtidaknya sanad suatu hadits, ada dua hal dapat yang dijadikan obyek penelitian, yaitu: sejarah rawi dan lafadz-lafadz periwayatan.[10]

2. Rawinya 'adil
Secara bahasa kata 'adl berasal dari (عدل-يعدل-عدلا), yang berarti condong, lurus lawan dari dzalim dan pertengahan. Kata 'adl ini kemudian digunakan oleh muhadditsin sebagai sifat yang mesti ada pada diri seorang rawi agar riwayatnya bisa diterima.
Menurut Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, 'adalat merupakan sifat yang melekat didalam jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya untuk senantiasa bertaqwa, menjaga muru'ah, menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan dosa-dosa kecil, dan menjauhi perbuatan yang menjatuhkan muru'ah seperti kencing di jalan, makan di jalan dan lain sebagainya.[11]
Sementara al-Nawawi sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuti mendefinisikan 'adalat lebih kongkrit yaitu: muslim, berakal sehat, tidak terdapat sebab-sebab kefasikan, dan terhindar dari hal-hal yang menjatuhkan muru'ah.[12] sedangkan menurut Abdullah bin Mubarak, ada lima kriteria yang digunakan untuk menetapkan 'adalat-nya seorang rawi, yaitu: selalu melaksanakan shalat berjama'ah, tidak meminum khamr, tidak sembrono dalam menjalankan agama, tidak berdusta dan berakal sehat. Muslim menambahkan bahwa seorang rawi bisa disebut adil adalah apabila ia seorang hafidz, maka ia tidak boleh lupa ketika ia menyampaikannya. Kalau ia mempunyai catatan, maka ia hanya boleh meriwayatkan dari kitab  asalnya.[13]
Dalam menentukan 'adil tidaknya rawi, paling tidak ada dua hal yang harusdiperhatikan. Pertama; pernyataan dari orang-orang adil dan kedua; mashurnya keadilan rawi tersebut.[14]

3. Rawinya bersipat dhabit.
Dhabit artinya cermat dan kuat hapalannya. Dhabit menurut bahasa adalah kokoh, yang kuat, yang hafal sempurna.[15]Sedangkan yang dimaksud dengan rawidhabit adalah rawi mempunyai daya ingatan dengan sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya.[16]
Dari sudut kuatnya hafalan rawi, ke-dhabit-an ini terbagi menjadi dua macam, yaitu: pertama, dhabit shadri atau dhabth al-fu'ad, dan kedua dhabth al-kitab. Dhabt al-Shadr artinya kemampuan untuk memelihara Hadits dalam hafalan sehingga apa yang ia sampaikan sama dengan apa yang ia terima dari guruya. Sedangkan dhabth al-kitab adalah terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya.[17]

4. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz.
Maksud syadz menurut bahasa, ganjil,atau syudzuz (jama’ dari syadz) di sini, adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. Pengertian ini yang diperpegangi Al-Syafi’i dan di ikuti kebanyakan para Ulama lainnya.
Melihat pengertian syadz di atas, dapat dipahami, bahwa hadits yang tidak syadz (ghair syadz), adalah hadits yang matannya tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.
Al-Hakim Al-Naisaburi memasukkan hadits fard (hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqqah, tetapi tidak ada perawi ;ain yang meriwayatkannya), kedalam kelompok hadits syadz. Pendaptini tidak dipegang oleh jumhur ulama  ahli hadits.[18]

5. Tidak terdapat cacat ('illat)
Kata ’illat menurut  bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan, dan kesalahan baca. Dengan pengertian ini,  maka yang disebut hadits ber ’illat adalah hadits-hadits yang ada cacat atau penyakitnya.
Menurut istilah, ’illat berarti sebabyang tersembunyi atau yang samar-samar, karenanya dapat merusak kesahihan hadits tersebut. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibtkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih.[19] Dengan demikian, maka yang dimaksud hadits berillat, ialah hadits-hadits yang di dalamnya tidak terdapat kesamaran  atau keragu-raguan.
Illat hadits dapat terjadi pada sanad maupun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, illat yang paling banyak, terjadi pada sanat, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadits yang munqathi’ atau mursal (teputus sanadnya).[20]

D.    Macam-macam Hadis Sahih
Para ulama membagi hadits shahih ini menjadi dua macam, yaitu:
1.      Shahih lidzatihi adalah sebuah hadits yang memenuhi  semua syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut dfi atas. Contoh;
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار(رواه البخاري و مسلم)
Apabila sebuah hadits telah ditelaah dan telah memenuhi syarat di atas, akan tetapi tingkatan perawi hadits berada pada tingkatan kedua maka hadits tersebut dinamakan hadits Hasan
2.      Shahih lighairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul.
Hadits ini dinamakan lighairihi karena keshahihan hadits disebabkan oleh sesuatu yang lain. Dalam artian hadits yang tidak sampai pada pemenuhan syarat-syarat yang paling tinggi. Misalnya  dhabid seorang rawi dinilai kurang. Hadits jenis ini merupakan hadits hasan yang mempunyai beberapa penguat. Artinya kekurangan yang dimiliki oleh hadits ini dapat ditutupi dengan adanya bantuan hadits, dengan teks yang sama, yang diriwayatkan melalui jalur lain. Contoh hadits dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairah bahwa Nabi bersabda:
لو لا أن أشق علي أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة(رواه البخاري)
Letak hadits ini masuk pada kategori lighairihi. Menurut Ibnu Shalah memberi alasan karena pada Muhammad bin Amr bin al-Qamah termasuk orang yang lemah dalam hafalan,.kekuatan, ingatan dan juga kecerdasanya, Akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh al A'raj bin Humuz dan sa'id al Maqbari maka bias dikategorikan shohih lighirihi.





E.     Kehujahan Hadis Sahih
Para ulama ulama ahli hadits dan sebagian ahli ushul serta ahli fiqh sepakat  menjadikan  hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal yang berhubungan akidah (keyakinan).
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Qur’an dan hadits Mutawattir untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah  tidak  dengan hadits ahad.
            Ibnu Hazm al-Dhahiri menetapkan bahwa hadits shahih memfaedahkan Ilmu Qat’I dan wajib diyakini. Dengan demikian hadits shahih dapat  dijadikan hujjah menetapkan suatu akidah.
            Perlu diketahui bahwa maartabat hadits shahih ini tergantung kepada ke-dhabitan dan keadilan para perawinya. Semakin dhabit ­ dan adil si perawi, maka semakin tinggi pula kualitas hadits yang diriwayatkannya.

F.     Tingkatan Hadits Shahih
Para ahli hadits menguraikan tingkatan-tingkatan hadits shahih, pada umumnya secara berurutan sebagai berikut:
1.      Hadits yang diriwaratkan  oleh Bukhsari dan Muslim.
2.      Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari.
3.      Hadits yang diriwayatkan Muslim.
4.      Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh bukhari dan muslim, meskipun hadits tersebut tidak ditakhrij mereka  berdua.
5.      Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari, meskipun hadits tersebut tidak ditakhrij olehnya.
6.      Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Muslimi, meskipun hadits tersebut tidak ditakhrij olehnya.
7.      Hadits-hadis yang dishahihkan oleh selain Bukhari dan Muslim, seperti Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban meskipun tidak memenuhi syarat-syarat  yang ditentukan oleh keduanya.[21]
G.    Beberapa istilah-istilah yang terkait dengan Hadis Sahih
1.      أصحُّ الأسانيد, yaitu rangkaian sanadnya lebih shahih, istilah ini kerapkali ditemukan dalam kitab-kitab Hadits. Ini menunjukkan bahwa sanad hadidt harus diutamakan dari yang lainnya.
2.      وفي إسناده مقالٌ,yaitu menunjukkan bahwa  sanad hadits terkait perlu diselidiki lebi lanjut, karena ada sifat yang diperselisihkan oleh ulama jarh dan ta’dil. Oleh karena itu, hadits ini belum bias segera diamalkan, selama belum jelas sanad atau memperoleh penguat dari riwayat yang lain.
3.      هذا حديث صحيح الإسناد, yaitu hadits yang shahih sanadnya. Ini berarti, bahwa tidak setiap hadits yang sanadnya shahih, dan pada saat  yang sama matannya juga shahih. Suatu hadits kadang-kadang hanya shahih sanadnya, yaitu rawinya tsiqah(adil dan dhabit), dan  muttasil. Akan tetapi, matannya mengandung illah atau szadz. Menurut Ibnu shalah, jika ahli hadits dinyatakan shahih sanadnya tanpa menyebutkan illahnya, maka hadits itu dihukumi shahih.
4.      حسنٌ صحيحٌ, terkait dengan istilah ini, ada tiga pendapat :
Pertama, Hadits yang mempunyai berarti memiliki dua sanad, yang pertama hasan dan lainnya bernilai shahih.
Kedua, berarti juga perbedaan pendapat ulama tentang sanad Hadits. Menurut ulama yang satu sanadnya hasan, sedang menurut lainnya shahih.
Ketiga, pendapat lain mengatakan, bahwa antara kedua istilah itu sebetulnya menyimpan huruf penghubung (atau), hasan atau shahih. Dengan demikian adanya pendapat  seperti ini, berarti ulama hadits itu tidak konsisten.[22]
H.    Penutup
Dari makalah yang telah dipaparkan diatas dapat kita ambil kesimpulan: Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, (didalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz) dan cacat (‘illat).
Syarat-syarat hadits shahih adalah:Sanad bersambung; Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil; Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith; Sanad hadis itu terhindar dari syudzudz ;danSanad hadis itu terhindar dari ‘illat.
Para ulama membagi hadits shahih ini menjadi dua macam, yaitu shahih lidzatihi adalah sebuah hadits yang memenuhi  semua syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna; dan shahih ligharihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul.
Para ulama ulama ahli hadits dan sebagian ahli ushul serta ahli fiqh sepakat  menjadikan  hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.
Para ahli hadits menguraikan tingkatan-tingkatan hadits shahih, pada umumnya secara berurutan sebagai berikut:Hadits yang diriwaratkan  oleh Bukhsari dan Muslim, Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Hadits yang diriwayatkan Muslim.,Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh bukhari dan muslim, Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukharik, Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Muslim, Hadits-hadis yang dishahihkan oleh selain Bukhari dan Muslim meskipun tidak memenuhi syarat-syarat  yang ditentukan oleh keduanya.
Beberapa istilah terkait dengan hadits shahih:
أصحُّ الأسانيد، وفي إسناده مقالٌ، هذا حديث صحيح الإسناد، حسنٌ صحيحٌ,
         
Demikianlah makalah ini disampaikan, penulis yakin dalam menulis makalah ini  tentu masih banyak kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam makalah ini. Karenanya dengan hati terbuka penulis sangat mengharapkan masukan, saran, dan kritik membangun dari teman-teman semua.
DAFTAR PUSTAKA

'Ajjaj al-Khatib, Muhammad. 1979. Ushul al-Hadits wa Musthalahuhu. Beirut : Dar al-Fikri.

Al-Baghdadi. t.t . al-Kifayat fi Ilm al-Riwayat. Ttp, al-Maktabat al-Ilmiyyat..

Al-Suyuthi, Jalaluddin. 1966. Tadrib al-Rawi, Ed. Abdul Wahhab al-Latief. Cairo : Darul Kutub al-Haditsah.

Hammam,  bin Abdurrahim Sa'id. 1998. al-Fikr al-Manhaji 'inda al-Muhadditsin. Qatar : Ri'asat al-Mahakim al-Syar'iyyat wa al-Syuun al-Diniyyat.

Ibnu Hajar. 1991. Hadyu al-Sari Muqaddimat Fath al-Bari. Beirut: Darul Fikr.

________. t.t . Syarh Nuhbah Al-Fikr fi Musthalah Hadits. Kairo:ttp.

Ismail, M.Syuhudi. 1988. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Jakarta : PT Bulan Bintang.

Mahmud,  Al-Thahan. 1985. Taisir Mustalah al-Hadis, Riyad: Maktabah al-Ma’arif.

Ma’luf, Lois. 1992. Al-Munjid fi Al-Lughah wa AlAlam. Beirut : Dar Al-Masyriq.

Poerwodarminto, W.J.S.1985.  Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta : Balai Pustaka.

Rahman, Fatchur. t.t. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Surabaya: PT. Al-Ma’arif.

Rifa’ii, Zuhdi. 2009.  Mengenal Ilmu Hadits. ttp :al-Ghuraba.

Suparta, Munzier. 2008.  Ilmu Hadits. Jakarta : Rajawali Press.







[1] Mahmud Al-Thahan, Taisir Mustalah al-Hadis, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1985, cet. 7), h. 33.
[2] W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta : Balai Pustaka, 1985), h. 849.
[3] Istilah siqah pada zaman itu lebih banyak diartikan sebagai kemampuan hafalan yang sempurna dari pada diartikan sebagai gabungan dari istilah ‘adl dan dhabtd yang dikenal luas pada zaman berikutnya. Lihat M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1988,), h. 106.
[4] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1988,), h. 123-124.
[5] Hammam bin Abdurrahim Sa'id, al-Fikr al-Manhaji 'inda al-Muhadditsin, (Qatar : Ri'asatal-Mahakim al-Syar'iyyat wa al-Syuun al-Diniyyat, 1998), cet. I, h. 57.
[6] Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits wa Musthalahuhu, (Beirut : Dar al-Fikri,
1979), h. 303.
[7] Al-Baghdadi, al-Kifayat fi Ilm al-Riwayat, (Ttp, al-Maktabat al-Ilmiyyat, tth), h. 21
[8] Ibnu Hajar, Hadyu al-Sari Muqaddimat Fath al-Bari, (Beirut: Darul Fikr, 1991), h. 12
[9] Al-Suyuthi, Jalaluddin, Tadrib al-Rawi, Ed. Abdul Wahhab al-Latief, (Cairo : Darul Kutub
al-Haditsah, 1966),h. 51
[10] Lihat Zuhdi Rifa’Ii, S. Th.I, Lc, Mengenal Ilmu Hadits, (ttp :al-Ghuraba, 2009), h.125-136.
[11] Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Op.cit), h. 231-232.
[12]Al-Suyuthi, op.cit, hal. 197
[13] al-Khatib al-Baghdadi, op.cit., h. 79
[14] Al-Suyuthi, op.cit., h. 198
[15] Lois Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al”Alam, (Beirut : Dar Al-Masyriq, 1992), h. 445.
[16] Dr. Munzier Suparta, M.A., Ilmu Hadits, (Jakarta : Rajawali Press, 2008), h.132.
[17] Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, op.cit., h. 232.
[18] Dr. Munzier Suparta, M.A, Op.Cit. h. 133.
[19] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Syarh Nuhbah Al-Fikr fi Musthalah Hadits,(Kairo: ttp, 1934), h. 54.
[20]  Dr. Munzier Suparta, M.A, Op.Cit. h. 134.

[21] Dr. Munzier Suparta, M.A, Op.Cit. h.134-140. lihat juga Zuhdi Rifa’Ii, S. Th.I, Lc, Op. Cit 151-158. h.125-136.

[22] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Surabaya: PT. Al-Ma’arif,t.t.), h. 130-133)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Web Kuliah Abdullah | Powered by Blogger | Design by ronangelo Theme Editor: Abdullah Jejangkit | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com