Hadits Shahih dan Permasalahannya
Oleh: Abdullah, M. Pd. I
A.
Pendahuluan
Sudah menjadi ketetapan dikalangan umat Islam bahwa Hadits merupakan
sumber hokum Islam kedua setelah Alquran. Nabi Muhammad SAW diutus Allah dengan
tujuan menjelaskanayat-ayat Allah dalam alquran sebagai pedoman hidup manusia.
Penjelasan Nabi terhadap Alquran dalam terminologi ulama dikenal dengan sebutan
hadits. Sikap terhadap Hadits seperti ini nampak terlihat sejak masa Nabi
Muhammad hidup, masa shahabat, tabiin bahkan sampai saat ini. Pada
masa Nabi masih hidup, para shahabat jika menemukan
kesulitan dalam memahami ayat-ayat Alquran atau menemukan problema yang tidak mereka
temukan penyelesaiannya dalam Hadits, mereka langsung bertanya kepada Nabi sebagai
personifikasi Hadits. Hal ini sebagaimana yang mereka lakukan tatkala
merekamenemukan keberatan dan kesulitan dalam memahami kata al-zhulm dalam
Alquran Surat al-An’am
ayat 82 berikut:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا
إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ.
Artinya : orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.
Kemudian Rasul
menjawab kesulitan yang dirasakan para shahabat dengan menyebutkanbahwa maksud
kata al-zhulm dalam ayat tersebut adalah syirk.
Dengan kaidah dan ilmu
hadits itu, ulama mengadakan pembagian kualitas hadis. Diantara kaidah yang
telah di ciptakan oleh ulama adalah kesahihan sanad hadis yakni segala syarat
yang harus di penuhi oleh suatu sanad hadits yang berkualitas sahih. Segala
syarat atau kriteria itu melengkapi seluruh bagian sanad.
Dalam tulisan
ini, penulis berupaya hadits shahih beserta permasalahannya sehingga kita bisa
mengetahui kriteria suatu hadits dipandang shahih yang berimplikasi pada kehujjahannya
sebagai salah satu sumber hukum Islam disamping al-Qur'an dan Ijtihad.
B.
Pengertian Hadits Shahih
Sahih menurut bahasa lawan kata سقيم (sakit),
yaitu sehat.[1]
Kata Shahih juga telah menjadia kosakata bahasa Indonesia dengan arti
“sah;benar; sempurna sehat; pasti”.[2] Sedangkan
menurut istilah, Ulama hadits dari kalangan al-Mutaqaddimin, yakni ulama hadits
sampai abad ke 3 H, belum memberikan pengertian definisi yang eksplisit (sarih)
tentang hadits shahih. kemudian secara metaforis dipakai juga untuk mensifati
sesuatu selain tubuh. Mareka pada umumnya hanya memberikan penjelasan
tentang penerimaan berita yang dapat diberpegangi, pernyataan-pernyataan
mereka, misalnya berbunyi : “Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits,
terkecuali yang berasal dari orang-orang yang stiqat.[3] Tidak
boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang tidak dikenal memiliki
pengetahuan hadits, Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang
suka berdusta, mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengerti hadits yang
diriwayatkannya. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang ditolak
kesaksiannya.
Ibnu Al-Shalah (wafat 643 H =
1245 M), salah seorang ulama hadits al-Muta’akhirin yang memiliki banyak
pengaruh dikalangan ulama hadis sezamannya, telah memberikan definisi atau
pengertian hadits shahih sebagai berikut :
أما الحديث الصحيح : فهو الحديث المسند الذى يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا.
“Adapun hadits
shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan
oleh (periwayat) yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, (didalam hadits itu)
tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz) dan cacat (‘illat).[4]
Dari definisi atau pengertian
hadis sahih pembahasan diatas dapat disimpulkan:
1.
Sanad bersambung;
2.
Seluruh periwayat dalam sanad
bersifat adil;
3.
Seluruh periwayat dalam sanad
bersifat dhabith;
4.
Sanad hadis itu terhindar
dari syudzudz; dan
5.
Sanad hadis itu terhindar
dari ‘illat.
C. Syarat-syarat Hadis Sahih
Ulama hadits
dalam menetapkan dapat diterimanya suatu hadits tidak hanya mensyaratkan
hal-hal yang berkaitan dengan rawi hadits saja. Hal ini, disebabkan karena
hadit sampai kepada kita melalui mata rantai yang teruntai dalam sanad-nya.
Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan
kebenaran perpindahan hadits disela-sela matarantai tersebut. Syarat-syarat
tersebut kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga
penyatuan tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui mana hadits yang dapat
diterima dan mana hadits yang harus ditolak.Pada umumnya para pakar hadits
mengklasifikasikan hadits kedalam tiga bentuk, yaitu: shahih, hasan dan dha'if.[5] Adapun hadits maudhu' tidak
termasuk dalam pembagian tersebut, karena pada dasarnya itu bukan hadits.
Penyebutannya sebagai hadits hanya dikatakan oleh orang yang suka membuatnya.[6]
Kriteria
kesahihan hadits yang banyak diikuti oleh para pakar hadits adalah yang
dikemukakan oleh Ibn Shalah yang menyebutkan lima kriteria keotentikan hadits,
yaitu:
1. Sanad-nya
bersambung.
Kata ittishal
berarti bersambung atau berhubungan. Sanad-nya bersambung artinya setiap
rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang sebelumnya
dan begitu selanjutnya sampai pada rawi yang pertama. Dengan
demikian menurut al-Suyuti, hadits munqati, mu'dhal, mu'allaq, mudallas dan
mursal tidak termasuk kategori hadits shahih karena sanad-nya
tidak bersambung.[7]
Sementara al-Bukhari berpendapat bahwa suatu hadits bisa disebut sanad-nya
bersambung apabila murid dan guru atau rawi pertama dengan rawi kedua
benar-benar pernah bertemu mesti hanya sekali. Sementara menurut Muslim, sanad
hadits dapat disebut bersambung apabila ada kemungkinan bertemu bagi kedua
rawi di atas. Hal ini bisa terjadi apabila keduanya hidup
dalam satu kurun waktu dan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh menurut ukuran
saat itu, meskipun keduanya belum pernah bertemu sama sekali.[8]
Berdasarkan hal
diatas, syarat yang dikemukakan al-Bukhari lebih ketat daripada yang ditetapkan
oleh Muslim. Hal ini menjadikan karya shahih al-Bukhari menempati peringkat pertama
dalam hirearki kitab hadits yang paling shahih.[9] Untuk mengetahui
bersambungtidaknya sanad suatu hadits, ada dua hal dapat yang dijadikan
obyek penelitian, yaitu: sejarah rawi dan lafadz-lafadz periwayatan.[10]
2. Rawinya 'adil
Secara bahasa
kata 'adl berasal dari (عدل-يعدل-عدلا), yang berarti
condong, lurus lawan dari dzalim dan pertengahan. Kata 'adl ini kemudian
digunakan oleh muhadditsin sebagai sifat yang mesti ada pada diri
seorang rawi agar riwayatnya bisa diterima.
Menurut Muhammad
'Ajjaj al-Khatib, 'adalat merupakan
sifat yang melekat didalam jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya untuk
senantiasa bertaqwa, menjaga muru'ah, menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan dosa-dosa
kecil, dan menjauhi perbuatan yang menjatuhkan muru'ah seperti kencing di jalan,
makan di jalan dan lain sebagainya.[11]
Sementara
al-Nawawi sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuti mendefinisikan 'adalat lebih
kongkrit yaitu: muslim,
berakal sehat, tidak terdapat sebab-sebab kefasikan, dan terhindar dari hal-hal
yang menjatuhkan muru'ah.[12] sedangkan menurut
Abdullah bin Mubarak, ada lima kriteria yang digunakan untuk menetapkan 'adalat-nya
seorang rawi, yaitu: selalu melaksanakan shalat berjama'ah, tidak meminum
khamr, tidak sembrono dalam menjalankan agama, tidak berdusta dan berakal
sehat. Muslim menambahkan bahwa seorang rawi bisa disebut adil adalah apabila
ia seorang hafidz, maka ia tidak boleh lupa ketika ia menyampaikannya. Kalau ia
mempunyai catatan, maka ia hanya boleh meriwayatkan dari kitab asalnya.[13]
Dalam menentukan
'adil tidaknya rawi, paling tidak ada dua hal yang harusdiperhatikan. Pertama;
pernyataan dari orang-orang adil dan kedua; mashurnya keadilan rawi tersebut.[14]
3. Rawinya
bersipat dhabit.
Dhabit artinya
cermat dan kuat hapalannya. Dhabit menurut bahasa adalah kokoh, yang
kuat, yang hafal sempurna.[15]Sedangkan yang dimaksud
dengan rawidhabit adalah rawi mempunyai daya ingatan dengan sempurna
terhadap hadits yang diriwayatkannya.[16]
Dari sudut
kuatnya hafalan rawi, ke-dhabit-an ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
pertama, dhabit shadri atau dhabth al-fu'ad, dan kedua dhabth
al-kitab. Dhabt al-Shadr artinya kemampuan untuk memelihara Hadits dalam
hafalan sehingga apa yang ia sampaikan sama dengan apa yang ia terima dari
guruya. Sedangkan dhabth al-kitab adalah terpeliharanya periwayatan
itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya.[17]
4. Tidak
terdapat kejanggalan atau syadz.
Maksud syadz
menurut bahasa, ganjil,atau syudzuz (jama’ dari syadz) di sini,
adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. Pengertian ini yang diperpegangi Al-Syafi’i dan
di ikuti kebanyakan para Ulama lainnya.
Melihat pengertian syadz di atas, dapat dipahami, bahwa hadits
yang tidak syadz (ghair syadz), adalah
hadits yang matannya tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau
lebih tsiqqah.
Al-Hakim Al-Naisaburi memasukkan hadits fard
(hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqqah, tetapi tidak ada
perawi ;ain yang meriwayatkannya), kedalam kelompok hadits syadz. Pendaptini
tidak dipegang oleh jumhur ulama ahli
hadits.[18]
5. Tidak
terdapat cacat ('illat)
Kata ’illat menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan,
dan kesalahan baca. Dengan pengertian ini,
maka yang disebut hadits ber ’illat adalah hadits-hadits yang ada
cacat atau penyakitnya.
Menurut istilah, ’illat berarti
sebabyang tersembunyi atau yang samar-samar, karenanya dapat merusak kesahihan
hadits tersebut. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya,
hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut,
mengakibtkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih.[19] Dengan demikian, maka
yang dimaksud hadits berillat, ialah hadits-hadits yang di dalamnya tidak
terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
Illat hadits dapat terjadi pada sanad maupun
pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, illat yang
paling banyak, terjadi pada sanat, seperti menyebutkan muttasil terhadap
hadits yang munqathi’ atau mursal (teputus sanadnya).[20]
D. Macam-macam Hadis Sahih
Para ulama
membagi hadits shahih ini menjadi dua macam, yaitu:
1. Shahih
lidzatihi adalah
sebuah hadits yang memenuhi semua syarat
atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang
lima sebagaimana tersebut dfi atas. Contoh;
من
كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار(رواه البخاري و مسلم)
Apabila
sebuah hadits telah ditelaah dan telah memenuhi syarat di atas, akan tetapi
tingkatan perawi hadits berada pada tingkatan kedua maka hadits tersebut
dinamakan hadits Hasan
2. Shahih lighairihi,
yaitu hadits yang
tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits
maqbul.
Hadits ini dinamakan lighairihi
karena keshahihan hadits disebabkan oleh sesuatu yang lain. Dalam artian hadits
yang tidak sampai pada pemenuhan syarat-syarat yang paling tinggi. Misalnya dhabid seorang rawi dinilai kurang.
Hadits jenis ini merupakan hadits hasan yang mempunyai beberapa penguat. Artinya
kekurangan yang dimiliki oleh hadits ini dapat ditutupi dengan adanya bantuan
hadits, dengan teks yang sama, yang diriwayatkan melalui jalur lain. Contoh
hadits dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairah bahwa Nabi
bersabda:
لو
لا أن أشق علي أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة(رواه البخاري)
Letak hadits ini masuk pada kategori lighairihi. Menurut Ibnu Shalah
memberi alasan karena pada Muhammad bin Amr bin al-Qamah termasuk orang yang
lemah dalam hafalan,.kekuatan, ingatan dan juga kecerdasanya, Akan tetapi
hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh al A'raj bin Humuz dan sa'id
al Maqbari maka bias dikategorikan shohih lighirihi.
E.
Kehujahan Hadis Sahih
Para ulama ulama ahli hadits dan sebagian ahli ushul serta ahli fiqh
sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib
beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan
dengan penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal yang berhubungan
akidah (keyakinan).
Sebagian besar
ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Qur’an dan hadits Mutawattir
untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah tidak dengan hadits ahad.
Ibnu Hazm al-Dhahiri menetapkan
bahwa hadits shahih memfaedahkan Ilmu Qat’I dan wajib diyakini. Dengan demikian
hadits shahih dapat dijadikan hujjah
menetapkan suatu akidah.
Perlu diketahui bahwa maartabat
hadits shahih ini tergantung kepada ke-dhabitan dan keadilan para
perawinya. Semakin dhabit dan adil si perawi, maka semakin tinggi pula
kualitas hadits yang diriwayatkannya.
F.
Tingkatan Hadits Shahih
Para ahli hadits menguraikan tingkatan-tingkatan hadits shahih, pada
umumnya secara berurutan sebagai berikut:
1.
Hadits yang diriwaratkan oleh Bukhsari dan Muslim.
2.
Hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari.
3.
Hadits yang diriwayatkan Muslim.
4.
Hadits yang diriwayatkan memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh bukhari dan muslim, meskipun hadits tersebut
tidak ditakhrij mereka berdua.
5.
Hadits yang diriwayatkan memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukhari, meskipun hadits tersebut tidak
ditakhrij olehnya.
6.
Hadits yang diriwayatkan memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh Muslimi, meskipun hadits tersebut tidak
ditakhrij olehnya.
7. Hadits-hadis yang dishahihkan oleh selain Bukhari dan Muslim,
seperti Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban meskipun tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh keduanya.[21]
G. Beberapa istilah-istilah yang terkait dengan Hadis Sahih
1.
أصحُّ
الأسانيد, yaitu rangkaian
sanadnya lebih shahih, istilah ini kerapkali ditemukan dalam kitab-kitab
Hadits. Ini menunjukkan bahwa sanad hadidt harus diutamakan dari yang lainnya.
2.
وفي
إسناده مقالٌ,yaitu
menunjukkan bahwa sanad hadits terkait
perlu diselidiki lebi lanjut, karena ada sifat yang diperselisihkan oleh ulama
jarh dan ta’dil. Oleh karena itu, hadits ini belum bias segera diamalkan,
selama belum jelas sanad atau memperoleh penguat dari riwayat yang lain.
3.
هذا
حديث صحيح الإسناد, yaitu
hadits yang shahih sanadnya. Ini berarti, bahwa tidak setiap hadits yang
sanadnya shahih, dan pada saat yang sama
matannya juga shahih. Suatu hadits kadang-kadang hanya shahih sanadnya, yaitu
rawinya tsiqah(adil dan dhabit), dan muttasil. Akan tetapi, matannya mengandung
illah atau szadz. Menurut Ibnu shalah, jika ahli hadits dinyatakan
shahih sanadnya tanpa menyebutkan illahnya, maka hadits itu dihukumi shahih.
4.
حسنٌ
صحيحٌ, terkait dengan
istilah ini, ada tiga pendapat :
Pertama, Hadits yang mempunyai berarti memiliki dua sanad, yang
pertama hasan dan lainnya bernilai shahih.
Kedua, berarti juga perbedaan pendapat ulama tentang sanad Hadits.
Menurut ulama yang satu sanadnya hasan, sedang menurut lainnya shahih.
Ketiga, pendapat lain mengatakan, bahwa antara kedua istilah itu sebetulnya
menyimpan huruf penghubung (atau), hasan atau shahih. Dengan demikian adanya
pendapat seperti ini, berarti ulama
hadits itu tidak konsisten.[22]
H.
Penutup
Dari makalah yang telah dipaparkan diatas dapat kita ambil
kesimpulan: Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya (sampai
kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabith sampai akhir
sanad, (didalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz) dan
cacat (‘illat).
Syarat-syarat hadits shahih
adalah:Sanad bersambung; Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil; Seluruh
periwayat dalam sanad bersifat dhabith; Sanad hadis itu terhindar dari syudzudz
;danSanad hadis itu terhindar dari ‘illat.
Para ulama membagi hadits shahih ini menjadi dua macam, yaitu shahih lidzatihi adalah sebuah hadits yang memenuhi semua syarat atau sifat-sifat hadits maqbul
secara sempurna; dan shahih ligharihi, yaitu hadits yang tidak
memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits
maqbul.
Para ulama ulama ahli hadits dan sebagian ahli ushul serta ahli fiqh
sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib
beramal dengannya.
Para ahli hadits menguraikan tingkatan-tingkatan hadits shahih, pada
umumnya secara berurutan sebagai berikut:Hadits yang diriwaratkan oleh Bukhsari dan Muslim, Hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari, Hadits yang diriwayatkan Muslim.,Hadits yang
diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh bukhari dan muslim,
Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bukharik, Hadits
yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Muslim, Hadits-hadis
yang dishahihkan oleh selain Bukhari dan Muslim meskipun tidak memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh
keduanya.
Beberapa istilah terkait dengan hadits shahih:
أصحُّ الأسانيد، وفي إسناده مقالٌ، هذا
حديث صحيح الإسناد، حسنٌ صحيحٌ,
Demikianlah makalah ini
disampaikan, penulis yakin dalam menulis makalah ini tentu masih banyak kekurangan dan kesalahan
yang terdapat dalam makalah ini. Karenanya dengan hati terbuka penulis sangat
mengharapkan masukan, saran, dan kritik membangun dari teman-teman semua.
DAFTAR PUSTAKA
'Ajjaj al-Khatib, Muhammad. 1979. Ushul
al-Hadits wa Musthalahuhu. Beirut : Dar al-Fikri.
Al-Baghdadi. t.t . al-Kifayat fi Ilm al-Riwayat. Ttp, al-Maktabat
al-Ilmiyyat..
Al-Suyuthi, Jalaluddin. 1966. Tadrib al-Rawi,
Ed. Abdul Wahhab al-Latief. Cairo : Darul Kutub al-Haditsah.
Hammam, bin
Abdurrahim Sa'id. 1998. al-Fikr al-Manhaji 'inda al-Muhadditsin. Qatar :
Ri'asat al-Mahakim al-Syar'iyyat wa al-Syuun al-Diniyyat.
Ibnu Hajar. 1991. Hadyu al-Sari Muqaddimat Fath al-Bari. Beirut:
Darul Fikr.
________. t.t . Syarh
Nuhbah Al-Fikr fi Musthalah Hadits. Kairo:ttp.
Ismail, M.Syuhudi. 1988. Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis Jakarta : PT Bulan Bintang.
Mahmud, Al-Thahan. 1985. Taisir Mustalah al-Hadis,
Riyad: Maktabah al-Ma’arif.
Ma’luf, Lois. 1992. Al-Munjid
fi Al-Lughah wa AlAlam. Beirut : Dar Al-Masyriq.
Poerwodarminto, W.J.S.1985.
Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang
diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta : Balai Pustaka.
Rahman, Fatchur. t.t. Ikhtisar
Musthalahul Hadits. Surabaya: PT. Al-Ma’arif.
Rifa’ii, Zuhdi. 2009. Mengenal Ilmu Hadits. ttp :al-Ghuraba.
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta : Rajawali Press.
[1] Mahmud
Al-Thahan, Taisir Mustalah al-Hadis, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1985,
cet. 7), h. 33.
[2] W.J.S.
Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang diolah kembali oleh
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
(Jakarta : Balai Pustaka, 1985), h. 849.
[3] Istilah
siqah pada zaman itu lebih banyak diartikan sebagai kemampuan hafalan yang
sempurna dari pada diartikan sebagai gabungan dari istilah ‘adl dan
dhabtd yang dikenal luas pada zaman berikutnya. Lihat M.Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1988,), h. 106.
[4]
M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta : PT Bulan
Bintang, 1988,), h. 123-124.
[5] Hammam bin Abdurrahim Sa'id, al-Fikr al-Manhaji 'inda
al-Muhadditsin, (Qatar : Ri'asatal-Mahakim al-Syar'iyyat wa al-Syuun
al-Diniyyat, 1998), cet. I, h. 57.
[6] Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits wa
Musthalahuhu, (Beirut : Dar al-Fikri,
1979), h. 303.
[7] Al-Baghdadi, al-Kifayat fi Ilm
al-Riwayat, (Ttp, al-Maktabat al-Ilmiyyat, tth), h. 21
[8] Ibnu Hajar, Hadyu al-Sari Muqaddimat
Fath al-Bari, (Beirut: Darul Fikr, 1991), h. 12
al-Haditsah, 1966),h. 51
[10] Lihat
Zuhdi Rifa’Ii, S. Th.I, Lc, Mengenal Ilmu Hadits, (ttp :al-Ghuraba,
2009), h.125-136.
[13] al-Khatib al-Baghdadi, op.cit., h.
79
[15] Lois
Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al”Alam, (Beirut : Dar Al-Masyriq,
1992), h. 445.
[16] Dr.
Munzier Suparta, M.A., Ilmu Hadits, (Jakarta : Rajawali Press, 2008),
h.132.
[17]
Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, op.cit., h. 232.
[18] Dr.
Munzier Suparta, M.A, Op.Cit. h. 133.
[19] Ibnu
Hajar Al-‘Asqalani, Syarh Nuhbah Al-Fikr fi Musthalah Hadits,(Kairo:
ttp, 1934), h. 54.
[20] Dr. Munzier Suparta, M.A, Op.Cit. h.
134.
[21] Dr.
Munzier Suparta, M.A, Op.Cit. h.134-140. lihat juga Zuhdi Rifa’Ii, S.
Th.I, Lc, Op. Cit 151-158. h.125-136.
[22] Fatchur
Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Surabaya: PT. Al-Ma’arif,t.t.), h.
130-133)
0 komentar:
Posting Komentar