Ali Bin Abi Thalib (35-40 H = 656-661 M)
Kemajuan dan Kemunduran
Oleh:Abdullah, M. Pd. I
A.
Pendahuan
Setelah berakhir
pemerintahan khalifah Usman Bin Affan (35H/656M) dengan kematiannya
di ujung pedang para pemberontak yang tidak puas terhadap kebijakan-kebijakan politik dan pemerintahannya, umat Islam pada waktu
itu mengalami kegoncangan dan perpecahan dalam menentukan
siapa pemimpin mereka selanjutnya. Dalam suasana ini
akhirnya Ali bin Bin Thalib terpilih menjadi khalifah
yang keempat menggantikan Usman bin Affan. Walaupun Ali dipilih
oleh mayoritas umat dari kalngan Anshor dan Muhajirin, namun tidak didukung secara bulat oleh sahabat-sahabat senior dan juga dari
kelarga Bani Umaiyah. Hal ini tentu di kemudian hari menimbulkan
problematika dalam mengendalikan kepemimpinannya.
Sejak awal pemerintahan Ali bin Abi Thalib perpecahan di
kalangan umat Islam sudah tak terelakkan lagi. Tercatat
dalam lembaran sejarah, masa ini sebagai masa awal
timbulnya disintegrasi umat Islam, yang diawali perpecahan dalam bidang politik pemerintahan, dengan adanya perlawanan dan
pemberontakan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib yang
melibatkan para sahabat senior Nabi. Dari masalah politik
ini perpecahan melebar ke masalah pemahaman terhadap teologi.
Oleh karena itu, Untuk lebih
jelasnya akan dibahas dalam makalah sederhana ini dengan Rumusan Masalah
sebagai berikut:
- Siapakah Ali bin Abi Thalib?
- Bagaimana Usaha dan Pengembangan Islam pada masa kekhalifahan Ali?
- Bagamana gambaran kemajuan dan kemunduran pada masa masa kekhalifahan Ali?
B. Pembahasan
a.
Siapakah Ali Bin Abi Thalib
?
Beliau Adalah Ali Bin Abi Thalib
ibnu Abdil Muthalib bin Hisyam
bin Abd Manaf bin Qusay al-Quraisy. Ibunya adalah Fatimah
bint Asad bin Hisyam, masuk Islam dan ikut hijrah bersama
Nabi. Ali adalah sepupu dan sekaligus
menantu Nabi dari putri beliau Fatimah.[1] Fatimah
adalah satu-satunya putri Rasulullah mempunyai keturunan sampai sekarang.[2]
Ali bin abi Thalib adalah termasuk salah seorang yang pertama masuk Islam
(as-sabiqun al-awwalun) dari kalangan anak-anak (sekitar
berumur delapan atau sepuluh tahun), dan termasuk salah
seorang sahabat Nabi yang dijanjikan masuk surga. Sejak
kecil ia dididik dengan adab dan budi pekerti Islam, karena kedekatannya dengan Nabi. Ia orator ulung, hidupnya penuh asketis (al-ulama ar- rahbaniyyah rabbani al-ummah), berani, salah seorang yang banyak meriwayatkan hadits, pengetahuannya keagamaanya
sangat luas, fatwa-fatwanya menjadi pedoman bagi para
khalifah dan sahabat-sahabat pada
masa Abu Bakar, Umar dan Utsman.[3]
b. Terpilih menjadi Khalifah
Pengangkatan Ali menjadi khalifah keempat dari khulafa’
ar-rasyidin terjadi pada tahun 35H/656 M, berawal dengan wafatnya
khalifah ketiga Utsman bin Affan, yang terbunuh oleh
sekelompok pemberontak dari Mesir yang
bertepatan dengan tanggal 17 Juni 656 M, yang mana mereka
tidak puas terhadap kebijakan pemerintahan Utsman bin
Affan.[4] Setelah Usman wafat, pemilihan khalifah yang keempat jatuh ke
tangan Ali Bin Abi Thalib. Namun orang-orang
Bani Umayyah, terutama pemimpim-pemimpinnya yang telah merasakan lezatnya kekuasaan
dan kekayaan semasa pemerintahan Usman merasa kwatir jika pemerintahan dipegang
oleh Ali akan kembali disiplin seperti masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar.
Oleh karena itu mereka tidak menghendaki Ali menjadi Khalifah. Pemilihan
Khalifah waktu itu lebih sulit dari pada sebelumnya.[5]
Penduduk Madinah dengan didukung sekelompok pasukan dari
Mesir, Basrah dan Kufah mencari siapa yang mau menjadi khalifah.
Mereka meminta Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’d bin Abi Waqash, dan ibnu Umar, pada awalnya tidak
satupun dari mereka yang mau menjadi khalifah
menggantikan Usman. Setelah mereka berunding, akhirnya
mereka mendatangi penduduk Madinah agar mereka mengambil keputusan,
karena merekalah yang dianggap ahli
syura, yang berhak memutuskan pengangkatan khalifah,
kreadibilitas mereka diakui umat. Kelompok-kelompok ini mengancam
kalau tidak ada salah satu dari mereka yang mau dipilih menjadi khalifah, mereka akan membunuh Ali, Thalhah, Zubair, dan masyarakat
lainnya.
Akhirnya dengan geram mereka menoleh kepada
Ali. Pada awalnya Ali pun tidak bersedia. Karena pengangkatannya tidak didukung
oleh kesepakatan penduduk Madinah dan veteran perang
Badar. Menurut Ali, orang yang didukung oleh komunitas
inilah yang lebih berhak menjadi khalifah. Dengan berbagai argumen yang diajukan oleh berbagai kelompok tersebut, demi Islam dan
menghindari fitnah, akhirnya Ali bersedia dibai’at.
Pada hari
Jum’at di Masjid Nabawi, mereka melakukan bai’at dan diikuti keesokan harinya
oleh sahabat-sahabat besar seperti Thalhah, dan Zubair, walaupun sebenarnya mereka membai’at secara terpaksa, dan keduanya mengajukan
syarat dalam bai’at tersebut supaya Ali menegaklkan
keadilan terhadap pembunuh Utman. Namun Ali tidak
langsung menjawab kesanggupannya, karena situasi pada waktu itu belum memungkinkan untuk mengambil tindakan dan para pembunuh Usman
tidak diketahui satu persatunya.[6] Akibat sikap Ali yang demikian, setelah pembai’atan tersebut keduanya keluar dari Madinah menuju Mekah bersama Aisyah
Ummul Mukminin janda Nabi, menyusun kekuatan untuk mengangkat senjata melawan Ali, sehingga kemudian terjadilah ’perang unta’ (waq’ah al-jamal).[7]
Setelah Ali terpilih, beliau mengucapkan pidato dan minta semua rakyat
mentaati peraturannya. Yang pidatonya sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan
Kitab sebagai petunjuk yang menjelaskan kebaikan dan keburukan. Maka ambillah ynag
baik dan tinggalkan keburukan. Allah telah menetapkan
segala kewajiban, kerjakanlah! Maka Allah menuntunmu ke
surga. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal-hal yang
haram dengan jelas, memuliakan kehormatan orang muslim
dari pada yang lainnya, menekankan keikhlasan dan tauhid
sebagai hak muslim. Seorang muslim adalah yang dapat
menjaga keselamatan muslim lainnya dari ucapan dan tangannya. Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan alasan yang dibenarkan.
Bersegeralah membenahi kepentingan
umum,..........bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
kamu dimintai pertanggungjawaban tentang apa saja, dari
sejengkal tanah hingga binatang ternak. Taatlah kepada Allah jangan mendurhakai-Nya. Bila melihat kebaikan ambillah, dan bila
melihat keburukan tinggalkanlah. Kemudian Ali mengakhiri
pidatonya dnegan membacakan al-Qur’an surat al-Anfal ayat
26”[8]
c.
Usaha dan Pengembangan
Islam
1. Dunia Politik Islam
Masa Khalifah Ali
Pasca pembunuhan Utsman
situasi begitu kacau. Umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok. Tidak semua
umat Islam membai’at kepada Ali. Di Syam (Syria),
Muawiyah yang masih keluarga Utsman menuntut balas kepada Ali atas kematian Utsman. Ia bahkan menuduh Ali berada di belakang para
pemberontak. Bahkan akhirnya Muawiyah secara
terang-terangan mengangkat senjata melawan khalifah Ali.
Dengan demikian, walaupun Ali diangkat menjadi
khalifah tidak diakui oleh seluruh komponen kaum muslim, tetap dianggap khalifah
yang sah, karena didukung oleh mayoritas kaum muslim pada
saat itu.
Keadaan pemerintahan Ali bin Abi Thalib
sudah jauh berbeda dengan masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar. Pada masa
pemerintahan sebelum Usman, pemerintahan Islam menghadapi masalah-masalah yang
maha berat, yaitu mengembangkan Agama Islam yang baru dipeluk oleh rakyat Jazirah Arab saja. Pada waktu itu
orang belum merasakan kelezatan kekuasaan. Umat Islam masih murni, bersatu dan
mempunyai semangat jihad demi pemerintahan Islam.
Lain halnya dengan keadaan pada masa pemerintahan Usman
yang kemudian diteruskan oleh Ali. Warisan yang ditinggalkan oleh Khalifah
Usman tidak menguntungkan bagi pemerintahan Islam, warisan itu ialah :
1.
Sebagian penguasa sudah
mementingkan kekuasaan, pangkat dan kekayaan untuk kepentingan dirinya sendiri
dan golongannya. Kepentingan Islam sudah mulai tidak diutamakan.
2.
Dalam menentukan pemimpin tidak
lagi orang melihat kepentingan Islam, melainkan melihan kepentingan sendiri dan
golongan.
Oleh karena itu setelah Ali memegang pemerintahan Islam, ia menghadapi
masalah-masalah yang berat. Sehingga boleh dikata selama pemerintahan Ali itu
tidak ada sela-sela masa aman dan tenteram. Perang Jamal berganti perang
Shiffin dan beralih masa dendam dari kaum Khawarij. Ahli sejarah mengatakan Ali
ibarat menambal kain yang sudah usang, ditambal pada satu tempat, kemudian di
tempat lain rusak, sehingga tidak makin menjadi baik tapi makin menjadi rusak.
Demikianlah nasib pemerintahan Ali.
2. Dua Masalah
Tindakan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Segera setelah resmi menjadi khalifah, sesuai
dengan watak dan
kepribadiannya[9] yang lugas serta tegas dan dengan tujuan menjaga integritas dan
stabilitas keamanan negara, ia mengambil dua kebijakan politik
yang dianggap sebagai pemicu ketidakpuasan sebagian
rakyat dari pemerintahan sebelumnya.
Pada waktu itu ada
dua persoalan berat yang dihadapi Aili
bin Abi Thalib, yang kedua penyelesaiannya memerlukan pengorbanan. Namun
demikian Ali lebih mengutamakan kebenaran dari pada keuntungan duniawi. Dua
tindakan itu ialah :
1.
Mengganti para wali di
daerah-daerah yang diangkat Usman bi Affan.
2.
Mencabut kembali tanah-tanah yang
dibagikan oleh Khalifah Usman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa
jalan sah.[10]
Setelah dipikirkan dengan masak, beliau menetapkan niat untuk
mendahulukan penggantian para wali sekali pun ada sahabat kenamaan (Thalhah,
Zubair, Mughirah) menasehatkan agar tindakan itu ditunda hingga posisi beliau
sebagai Khalifah kuat. Tetapi Khalifah tetap memecat para wali dan mengangkat wali-wali baru, yaitu :
·
Sahl bin Unaif ke Syam.
·
Ustman bin Hanaif ke
Basrah, menggantikan Abdullah bin Amir
·
Qais bin Sa’ad ke Mesir.
·
Ubaidah bin Abbas ke Yaman.
Gubernur-gubernur baru tersebut tidak dengan mudah masuk menggantikan pejabat lama. Meskipun sebagian besar
mereka diterima di daerah, tidak jarang pula ada yang
menolaknya. Bahkan serta merta Muawiyah gubernur Syria masa Usman,
mengusir Sahl bin Hunaif.[11]
Dengan melihat kondisi Madinah yang tidak memungkinkan
baginya untuk menjalankan pemerintahan, pada bulan
Oktober 656 M Ali memimpin perjalanan (mars) angkatan
perang keluar dari Madinah.
Peristiwa ini, menurut Bernard Lewis, mempunyai dua arti
penting: pertama, langkah itu
berarti akhir kota Madinah sebagai ibu kota pemerintahan
Islam, dan sejak itu tidak ada khalifah yang berkuasa di
sana.Kedua, untuk pertama kalinya
seorang khalifah memimpin angkatan perang untuk berperang
melawan sesama muslim. Akhirnya Kufah dijadikan ibu kota menggantikan
Madinah. Di sini Ali mendapat dukungan dari rakyat.[12]
Masa pemerintahan Ali yang kurang lebih selama enam tahun
(35-40 H/656- 661 M) tidak pernah sunyi dari pergolakan
poltik, tidak ada waktu sedikitpun dalam pemerintahannya
yang dapat dikatakan stabil. Akhirnya praktis selama memerintah, Ali lebih banyak mengurus masalah pemberontakan
di berbagai wilayah kekuasaannya. Ia lebih banyak duduk
di atas kuda perang dan di depan pasukan yang masih setia
dan mempercayainya dari pada memikirkan administrasi negara yang teratur dan mengadakan ekspansi perluasan wilayah(futuhat). Namun demikian, Ali berusaha menciptakan
pemerintahan yang bersih, berwibawa dan egaliter. Ia ingin mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada masa Abu Bakar
dan Umar sebelumnya. Namun kondisi masyarakat yang sudah
terjerumus pada kekacauan dan tidak terkendali lagi,
menjadikan usahanya tidak banyak berhasil.[13]
d.
Fitnah Kubra; Perang antar Sahabat
Akibat dari pembunuhan
Utsman dan disusul dengan naiknya Ali menjadi khalifah yang
tidak sepenuhnya didukung oleh umat Islam pada waktu itu mengakibatkan
berbagai ekses yang sangat luar biasa dalam sejarah Islam, yaitu timbulnya tragedi yang mengenaskan yaitu perang saudara. Marshall GS.
Hudgson memaparkan:”Setelah itu dua lusin tahun setelah
wafatnya Muhammad, mulailah suatu periode fitnah
(yang berlangsung selama lima tahun). Yang makna harfiahnya ”godaan” atau ”cobaan-cobaan”, suatu masa perang saudara untuk
menguasai komunitas muslim dan teritori-teritori
taklukannya yang luas”.[14]
Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, masa pemerintahan Ali tidak terlepas dari berbagai
macam pembrontakan. Ali berusaha memadamkan bentuk perlawanan dan pemberontkan sesama muslim tersebut yang di dalamnya terlibat para
sahabat senior. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali yang tercatat dalam lembaran hitam
sejarah Islam adalah sebagai berikut:
1. Perang Berunta (Waqiatul Jamal) 36
H=657 M
Disebut perangberunta karena panglimanya (Aisyah) mengendarai unta. Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali
sebagai khalifah, dipandang sebagai hal yang luar biasa,
sehingga orang menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan
untanya, walaupun menurut sementara ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu
dominan.
Pemimpin perang tersebut ialah :
Zubair, Thalhah, dan Siti Aisyah. Di antara ketiga orang itu Aisyah, sebagai
panglima perangnya. Ketiga pemimpin itu di Mekkah mengumpulkan pasukan dari
Hijaz dan Yaman. Kemudian mereka menuju Basrah dan mengumpulkan pasukan untuk
memerangi Khalifah Ali di Madinah. Perang ini merupakan perang saudara
pertamakali dalam Islam.
Sebab-sebab
perang :
1.
Mereka tidak setuju atas
pengangkatan Ali sebagai Khalifah (sekalipun Zubair dan Thalhah dulu turut
membai’at Ali).
2.
Mereka tidak setuju atas tindakan Ali mengadakan pergantian wali
(Gebernur), di beberapa daerah.
3.
Khalifah Ali tidak mau menuruti
permintaan mereka untuk mendahulukan mengabulkan tuntutan kaum orang-orang yang
terlibat dalam pembunuhan Khalifah Usman (sekalipun yang terakhir ini tidak
disetujui Aisyah).
4.
Ambisi Abdullah Ibnu Zubair untuk
menjadi Khalifah. Untuk itu ia membujuk Aisyah (Ibu angkatnya) agar
mendukungnya, dan ikut serta berangkat ke medan perang.
Disamping itu bujukan anak angkatnya, ada factor lain yang menyebabkan Aisyah ikut perang, yaitu perasaan tidak
senang kepada Ali, karena:
a.
Ali menyinggung perasaannya
dalam peristiwa “hadis afki”.
b.
Ali membai’at Abu Bakar, ayah
Aisyah, setelah 6 bulan Abu Bakar menjasi Khalifah.
5. Ali tidak
mengangkat Thalhah dan Zubair sebagai gebernur.[15]
Khalifah Ali ingin sekali menghindari perang. Beliau sempat mengirim
surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk
menyelesaikan perkara itu secara damai.
Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat pun berkobar.[16] Perang
Jamal menyebabkan 10.000 orang Islam terbunuh termasuk Zubair dan Thalhah.
Sedangkan Aisyah selamat. Perang ini tiba-tiba berhenti setelah unta yang
dikendarai Aisyah mati terbunuh. Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan di
pihak Ali. Sedang Aisyah dipulangkan ke Madinah dengan penuh kehormatan dan
dipesan agar jangan kena bujuk lagi dan jangan mencampuri urusan politik.[17]
2. Perang
Shiffin
-Perselisihan khalifah Ali dan Muawiyah
Adanya perselisihan antara Ali dan Muawiyah berarti kembalinya
perselisihan Bani Hasyim dengan Bani Umayah, seperti pada zaman jahiliyah
dahulu. Puncak perselisihan itu adalah meletusnya perang yang disebut perang
Shiffin. Sebab-sebab perang :
1.
Muawiyah menuduh Ali turut campur
dalam pembunuhan Khalifah Usman dan Muawiyah menuntut beliau.
2.
Ali sebagai Khalifah tidak percaya
kepada Muawiyah di Syam, dan memecatnya dari jabatan Gebernur. Tetapi pemecatan
itu tidak ditaati oleh Muawiyah.
Khalifah Ali mengirim suratkepada Muawiayah dan berisi ajakan damai, atau
kalau tidak mau, maka Muawiyah dianggap
memberontak terhadap pemerintahan yang sah. Dan Ali berhak memeranginya.
Muawiyah menjawab dengan surat yang berisi kalimat :”Bismillahirrahmanirrahim”.
Mulai saat itulah perselisihan memuncak. Muawiyah siap untuk perang. Ali
pun berniat menggempur mereka.
Setelah selesai perang beruntta, Ali
terus berangkat ke Kufah. Dari sana beliau mengirim utusan Jarir bin
Abdullah Al-Ghazali kepada Muawiyah agar minta supaya ia mau “bai’at” damai
saja. Jawaban Muawiyah ialah :
1.
Bai’at damai tidak akan
berlangsung sebelum darah Usman selesai.
2.
Bila darah itu tidak selesai bukan
Bai’at yang berlangsung tetapi perang.
Jawaban tersebut disampaikan Jarir pada Khalifah Ali dan menerangkan
adanya persiapan perang di Syam. Dengan demikian perang tidak dapat dielakkan
lagi.
Pada mulanya pasukan Muawiah mendapat kemenangan. Karena pasukan Ali
melakukan pembalasan yang keras sekali, pasukan Muawiyah kembali menjadi kalah.
Muawiyah sudah berfikir untuk lari, tetapi Amr mengambil siasat dengan
memerintahkan supaya menaruh mushaf Al-Qur’an pada pucuk lembing mereka
masing-masing, suatu tanda “damai dengan hokum kutab”. Dan mereka berteriak
meminta perdamaian. Tujuan ajakan damai itu bagi Muawiyah tidak lain untuk
mengulur waktu guna menghindari kekalahan.
Melihat keadaan itu dan mendengar seruan itu, pasukan Ali menjadi lemas
tangannya tidak dapat melanjutkan perang. Padahal sudah hamper menang. Sebagian
pasukan ingin terus perang sampai menang, tetapi sebagian ingin damai dan
diselesaikan dengan hokum Allah. Sedang Ali sendiri menghendaki menyelesaikan
perang sampai menang. Karena beliau mengerti dan yakin bahwa seruan dari musuh
itu hanya muslihat belaka. Maka beliau berseru : “teruskan perang sampai
mendapatkan hakmu”.
Tetapi karena pasukan Ali sudah pecah, kemudian Ali memberhentikan perang
dengan hati yang kesal. Pasukan beliau mundur ke Kufah, sedang pasukan Muawiyah
mundur ke Syam.
Perang Shiffin ini memakan korban dari pasukan Ali 25.000 orang gugur dan
pasukan Muawiyah 45.000 orang yang menjadi korban. Kemudian diadakan genjatan
senjata dan dilanjutkan dengan diadakan pertemuan perdamaian dari kedua belah
pihak (arbitrase) di Dumatul Jandal.
Dumatul Jandal nama sebuah kampong di Sarhan. Sarhan adalah nama sebuah
wady (oasis) di utara Saudi Arabia.
-Majlis Tahkim Dumatul Jandal
Perjanjian genjatan senjata antara Ali dan Muawiyah terlaksana. Kemudian
mereka mengadakan kontak, dan sepakat untuk mengakan perundingan dengan
ketentuan :
1.
Perundingan tetap di adakan di
Jumatul Jandal tepat pada waktunya.
2.
Masing-masing terdiri dari 100
orang utusan. Dari pihak Ali diketuai oleh Abu Musa Al-Asy’ary, dan pihak
Muawiyah diketuai Amr bin Ash.
Dengan taktik yang licin sebelum siding dimulai Amr berusaha mengadakan
perundingan dengan Abu Musa. Hasil perundingannya ialah :
Keduanya sepakat untuk menurunkan Ali dan Muawiyah dari jabatan Khalifah
(ingat! Bahwa Muawiyah bukan Khalifah). Kata Amr :” hal itu untuk menjaga
kebebasan berbicara di dalam perundingan”.
Abu Musa diminta berbicara dihadapan siding lebih dahulu dari pada Amr
(ingat! hal ini hanya untuk menjatuhkan Abu Musa saja). Kata Amr “Hal itu untuk
menghormati sahabat yang lebih tua, yang lebih dahulu masuk Islam dan
lai-lain”.
Setelah siding dibuka Abu Musa berbicara lebih dahulu yang isinya antara
lain:”Bahwa saya telah sepakat dengan Amr menurunkan Ali dan Muawiyah dari
jabatan Khalifah, kemudian calon gantinya adalah Abdullah bin Umar.”. Kemudian
Amr berbicara dengan air muka yang manis, yang antara lain isinya: “… Saya
percaya bahwa Abu Musa tidak akan menjual agama dengan dunia. Dia memurunkanAli
dari jabatan Khalifah. Sekarang saya menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah”.
Mallis Tahkim itu berakhir dengan kegagalan. Memeng Muawiyah tidak ada
maksud menyelesaikan persoalan itu dengan jalan perundingan. Jadi benar kata
Ali bahwa ajakan damai dari pihak Muawiyah itu hanya tipu muslihat saja. Dan
kebetulan ketua utusan dari pihal Ali adalah Abu Musa Al Asy’ry seorang ulama
besar yang jujur dan hanya bias mengemukakan apa adanya, bukan seorang diplomat
sejenis Amr bi Ash.
e. Timbulnya Aliran-aliran dalam Islam
Islam di samping merupakan
sistem agama, ia juga merupakan sistem politik, dan Nabi
Muhammad SAW di samping seorang rasul sekligus menjadi seorang negarawan. Sehingga
wajar persoalan-persolan politik yang timbul di masa khalifah Ali bin Abi Thalib seperti yang telah disebutkan di atas pada akhirnya
meningkat menjadi persoalan yang membawa-bawa masalah
keyakinan (teologi) dalam Islam. Sikap Ali yang menerima
arbitrase, sungguh pun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui
oleh pengikutnya. Mereka berpendapat, hal tersebut tidak dapat diputuskan
oleh arbitrase manusia.
Menurut mereka, putusan hanya datang dari Allah dengan kembali
kepada hukum-hukum yang ada, ayat al-Qur’an la hukma
illa lillah,
menjadi semboyan mereka.[18]
Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut
memisahkan diri dan membentuk gerakan sempalan yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum
‘Khawarij’. Pendapat dan pemikiran mereka dikenal sangat
ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap telah kafir
dalam arti telah keluar dari Islam (murtad, apostate) karena tidak berhukum pada hukum Allah sebagai yang terdapat dalam al-Qur’an surat
al-Maidah ayat 44.[19] Khawarij
memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir. Karena itu mereka
bersepakat untuk membunuh Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash,
Abu Musa al-Asy’ari..[20]
Lambat laun kaum Khawarij
pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir yang mereka
pahami turut mengalami perubahan. Orang yang dipandang kafir bukan hanya orang yang tidak berhukum pada al-Qur’an saja, tetapi orang yang
berbuat dosa besar pun dianggap kafir. [21]
Untuk menghadapi pemikiran Khawarij tersebut muncul aliran
yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar masih
tetap mukmin, bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukannya tersrah kepada Allah untuk mengampuni atau
tidak mengampuni. Aliran ini terkenal dengan sebutan
Murji’ah. Pada awalnya kelompok
ini adalah orang-orang byang mengambil sikap diam dalam melihat
pertikaian di kalangan umat Islam sendiri. Mereka sangat berhati-hati dalam menilai siapa
yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa perang saudara pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Secara politik akhirnya mereka mayoritas mendukung
pemerintahan Bani Umayah. Dalam masalah teologi, dari
kelompok ini pulalah yang melahirkan kelompok ‘Ahlussunnah
wal Jama’ah’.
Kemudian ada kelompok yang
tidak setuju pada keduanya maka lahirlah aliran ‘Mu’tazilah’,
yang berpendapat bahwa orang berdosa besar tidak kafir juga tidak mukmin, orang seperti itu berada di posisi tengah (al-manzilah bainal manzilah).
Dari pihak pendukung
fanatik Ali bin Abi Thalib juga akhirnya
melembagakan teori politiknya, bahwa sebenarnya yang
berhak menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad SAW adalah
Ali bin Abi Thalib dan dilanjutkan oleh keturunannya. Mereka
ini kemudian dikenal dengan aliran ‘Syi’ah’. Harapan mereka pada awalnya
tertuju kepada Hasan putera tertua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Akhirnya mereka mengangkat
Hasan, namun nampaknya Hasan tidak mewarisi sifat ayahnya, tidak berbakat menajdi khalifah. Kemudian ia mengadakan akomodasi dengan menyerahkan hak khalifahnya kepada Mu’awiyah.[22] Kemudian para pengikutnya memposisikan sebagai
oposisi penguasa, sampai terbununya pemimpin mereka berikutnya,
Husein bin Abi Thalib, saudara Hasan, pada tragedi Karbela. Setelah itu mereka terus menerus menggalang kekuatan untuk merongrong penguasa
pada waktu itu.
Untuk selanjutnya
aliran-aliran atau madzhab tersebut berkembang; ada yang bersifat
pengembangan, kritik, atau menandingi dan melawan aliran-aliran yang sudah ada, ada yang bertahan lama, ada pula yang hanya bertahan
sebentar sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan
umat Islam itu sendiri dalam memahami pesan dan ajaran
agamanya.
f. Khalifah Ali bin Abi Thalib Terbunuh
(40 H=661M)
Kaum Khawarij tidak habis-habisnya membuat kerusuhan di dalam kalangan
Islam. Khawarij berpendapat, bahwa pangkal kekacauan yang banyak membawa korban
umat Islam itu adalah tiga orang imam. Kemudian mereka membulatkan tekad, untuk
membunuh ketiga orang imam itu dengan maksud agar umat Islam bersatu kembali.
·
Abdur Rahman bin Muljam
berkata:”Saya membunuh Ali”.
·
Barak binAbdullah berkata:”Saya
membunuh Muawiyah”.
·
Amir bin Bakri Attamimi
berkata:”Saya membunuh Amr bin Ash”.
Sumpah
pembunuhan itu akan mereka laksanakan serentak pada tanggal 17 Ramadhan 40
H=661 M. diwaktu Subuh.
·
Ibnu Muljam berhasil
membunuh Ali di Mesjid Kufah disaat sembahyang subuh.
·
Barak tikamannya hanya
mengenai pinggul Muawiyah di menjid Syam.
·
Amir bin Bakri dapat
menikam wakilimam Amr hingga meninggal. Waktu itu Amr tidak hadir mengimami
shalat karena sakit perut.
Setelah wafatnya
Imam Ali berarti hilanglah musuh utama Muawiyah. Kemudian Hasan dinobatkan
menjadi Khalifah
Dengan meninggalnya Ali berarti berkahir zaman Khulafaur Rasyidin.
Jabatan Khalifah sesudah itu dipegang oleh Hasan putera Ali, yang tidak lama
kemudian diserahkan kepada Muawiyah. Dunia Islam sepeninggal Ali merupakan
babak baru. Sekali pun pengembangan agama Islam dan perluasan daerah masih
berjalan terus, tetapi warnanya berlainan. Secara ringkas dapat kita buat
perbandingan di bawah ini :
Masa
Khulafaur Rasyidin
|
Masa
Sesudah Khulafaur rasyidin
|
·
lebih banyak bekerja
menurut suru tauladan rasululllah saw, dan menyempurnakan pekerjaan Beliau
(menyebar benih yang murni)
·
Menentukan Khalifah
melalui pemilihan
·
Suatu masalah dipecahkan
bersama dengan musyawarah dan mufakat.
·
Khalifah menganggap
dirinya sebagai abdi Negara dan masyarakat.
·
Orang masuk Islam
berduyun-duyun secar besar-besarn dan berlangsung cepat.
·
Orang masu Islam
berpegang teguh pada agamanya, (“militan” kata orang sekarang).
·
Memperhatikan pengilaman
dan umat Islam di negeri-negeri Tunis, Mesir, Syiria, Arab, Irak, dan Persi
(Wilayah pengislaman masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin).
|
·
Sekali pun ada khalifah
mengikuti tauladan Rasulullah, tetapi lebih banyak yang menyimpang.
·
Menentuka khalifah berdasarkan
keturunan atau warisan semacam kerajaan
·
Segala sesuatu di tangan
khalifah, kekuasaan dan pemerintahan yang bersifat Diktator.
·
Khalifah mengejar
kekayaan dan kekuasaan, menganggap dirinya dipertuan, sedang rakyat dianggap
sebagai hamba.
·
Orang masuk Islam dalam
jumlah kecil dan lambat, kalau tidak dikatakan kosong atau berhenti.
·
Orang-orang yang sudah
masuk Islam secara ringan menganut agamanya, mudah menarik diri dari agamanya
dan banyak pamrih dalam beragama.
·
Memperhatikan pengislaman
dan umat Islam di negeri-negeri : Turki, Spanyol, Eropa Timur, India, dan
lain-lain. (Wilayah pengislaman sesudah masa Khulafaur Rasyidin).[23]
|
C. Penutup
Khlaifah Ali bin Abi Thalib memerintah kurang lebih lima
tahun (35-40H/656- 661M). Berakhirnya kekhalifahan Ali berakhir pula masa kepepemimpin para khalifah yang cerdas, khulafa’urrasyidin yang empat, dengan sistem pemerintahan yang
demokratis, yang pada waktu itu sulit mencari padanannya di wilayah mana pun. Setelah itu,
umat Islam mengalami perubahan dan perbedaan dalam sistem
politik kenegaraanya, dari sistem pemerintahan yang berdasarkan syura’, berubah menjadi bentuk pemimpin yang
tidak dipilih, tetapi berdasarkan penunjukkan yang secara turun temurun (bani/dinasti) atau
berbetuk kerajaan. Di bidang pemahan keagamaan juga muncul berbagai aliran (madzhab/sekte)
yang bermula timbul dari respon terhadap berbagai
peristiwa di akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Bagaimana pun mereka para generasi awal Islam—khususnya
para khalifah yang empat adalah orang-orang yang
mempunyai kredibelitas dan integritas pribadinya, serta
loyalitas dan kontribusinya pada Islam tidak perlu diragukan lagi. Akan tetapi, bagaimana pun
mereka adalah manusia biasa yang
tidak ma’shum, bahwa tidak setiap
pribadi masa salaf pada lahirnya bebas dari kekurangan. Jika seandainya mereka lepas dari
kekurangan, maka bagaimana kita menerangkan berbagai peristiwa
pembunuhan dan peperangan sesama sahabat Nabi sendiri,
selang hanya beberapa tahun saja dari wafatnya Beliau?
Padahal peperangan itu banyak melibatkan sahabat besar, seperti: Ali, Aisyah,
Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi,
Jalaluddin. 2000. Tarikh
al-Khulafa’.
Mekah Mukarromah: Maktabah Nizar Mushthafa al-Baz.
Al-Atsir, Ibnu. 1979. al-Kamil fi
at-Tarikh, Jilid III. Beirut:
Dar al-Fikr.
Basuki. Dkk. 1999. Sejarah
Kebudayaan Islam Kelas 1 MAK. Jakarta
: Depag
GS. Hudgson, Marshall.
1999. The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban
Dunia, buku pertama (terj. Mulyadhi Kartanegara). Jakarta: Paramadina.
Lewis, Bernard. 1988. Bangsa Arab dalam Lintasan
Sejarah; dari segi Geografi, Sosial, Budaya dan Persatuan Islam (terj. Said Jamhuri). Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya.
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam;
aliran, sejarah, analisa perbandingan. Jakarta:UI Press.
Mahmoud, Abbas al-Akkad. 1979. Ketakwaan Khlaifah
Ali bin Abi Thalib (terj. Bustami A. Gani dan Zainal Abidin
Ahmad). Jakarta: Bulan Bintang
Syalabi, A. 2007. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta
: Pustaka Al-Husna Baru.
Yatim, Badri. 2008. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta : Rajawali Press.
-‘Amul Jama’ah (41 H=662M)
Hasan bi Ali
tidak memerintah lama, ia dipaksa turun tahta oleh Muawiyah. Kemudian keduany
mengadakan perjanjian perdamaian di Persia, yang isinya sebagai berikut:
- Muawiyah membrikan jaminan keselamatan kepada Hasan beserta keluarganya.
- Muawiyah harus menjaga kehormatan almarhum Ali dari segala caci-maki, baik di tempat umum maupun khusus, seperti dalam Khutbah-khutbah.
- Sepeninggal Muawiyah nanti, jabatan Khalifah harus diserahakan kepada musyawarah umat.
[1] Jalaluddin as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’ (Mekah Mukarromah: Maktabah Nizar Mushthafa al-Baz, 2000), hlm. 149.
[2] Prof. Dr.
A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta : Pustaka Al-Husna Baru,
2007), hlm. 243.
[3] Abbas Mahmoud al-Akkad, Ketakwaan
Khlaifah Ali bin Abi Thalib (terj. Bustami A.
Gani dan Zainal Abidin Ahmad) (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). hlm.
45-46.
[4] Ketidakpuasan mereka disebabkan pada masa Utsman ini telah terjadi
penyimpangan kekuasaan yang tidak dilakukan pada masa
khalifah sebelumnya yaitu kekuasaan berpusat dan dikendalikan oleh keluarga besar Utsman, sehingga menimbulkan korupsi dan
nepotisme. Misalnya ketika Usman naik menjadi khlaifah,
banyak pejabat negara warisan khalifah sebelumnya diberhentikan dengan tanpa alasan dan kemudian mengangkat pejabat baru dari kerabat dekat
Utsman. Padahal diketahui secara luas, bahwa banyak
kerabat Usman diragukan loyalitasnya kepada Islam dan masuk Islamnya pun belakangan.
[5] Drs.
Basuki, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Kelas 1 MAK, (Jakarta : Depag, 1999),
hlm. 84
[6]Kisah pembai’atan Ali
ini suasana Madinah memang sangat memanas dan kacau, bahkan menurut sebuah riwayat,
Thalhah dan Zaubair membai’at Ali di bawah ancaman pedang oleh Malik al-
Asytar, ada juga di antara sahabat yang abstain, menunggu
suasana yang kondusif, misalnya yang dilakukan oleh Sa’d
bin Abi Waqash dan Ibnu Umar, mereka tidak langsung membai’at, menunggu orang banyak dahulu. Untuk penjelasan ini dapat dilihat pada Ibnu
al-Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh,
Jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 1979),
hlm. 155.
[7] Setelah
Aisyah mengetahui Ali telah di bai’at dia marah, dan berkata:”Demi Allah!
Sekali-kali hal ini tidak boleh terjadi. Usman telah dibunuh secara aniaya.
Demi Allah saya akan menuntut bela”.lihat: Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah…
Op.Cit. hlm. 248.
وَاذْكُرُوا
إِذْ أَنْتُمْ قَلِيلٌ مُسْتَضْعَفُونَ فِي الأرْضِ تَخَافُونَ أَنْ
يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَآوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ
الطَّيِّبَاتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٢٦)
26. dan ingatlah (hai Para muhajirin) ketika kamu
masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut
orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, Maka Allah memberi kamu tempat menetap
(Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya
kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.
[9] Menurut Prof. Dr. A. Syalabi,Sejarah…hlm. 245-246, politik yang dijalankan
seseorang adalah gambaran pribadi orang tersebut yang
akan mencerminkan akhlak dan budi pekertinya. Ali mempunyai watak dan pribadi yang khas, suka berterus terang, tegas bertindak dan tidak
suka berpura-pura. Ia tidak takut celaan siapapun dalam
menjalankan kebenaran. Maka sikap inilah yang banhyak mempengaruhi
dalam menjalankan kebijakan politik dan pemerintahannya.
[10] Ibid.
. hlm. 246.
[11] Ibnu al-Atsir,al-Kamil. OP.Cit
hlm. 201-203.
[12] Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam
Lintasan Sejarah; dari segi Geografi, Sosial, Budaya dan
Persatuan Islam (terj. Said Jamhuri), (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988), hlm. 52.
[13] .Abbas
Mahmoud al-Akkad, Ketakwaan… OP.Cit. hlm. 122-123.
[14] Marshall GS. Hudgson, The Venture
of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, buku pertama (terj. Mulyadhi
Kartanegara) (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 309.
[15] Prof.
Dr. A. Syalabi, Sejarah… Op.Cit. hlm. 248-252.
[16] Dr.
Badri Yatim. M.A., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Rajawali Press,
2008), hlm. 39-40. Awalnya ada
usaha-usaha dari Ali untuk mencegah peperangan, dengan ajakan bai’at dan sumpah setia kepadanya. Pada awalnya usaha damai itu hampi
berhasil, namun ada pihak-pihak yang tidak menginginkan
mereka berdamai, hingga akhirnya mengalami kegagalan. Peranan Abdullah ibn Saba’ dan
pengikutnya kembali disebut-sebut oleh para sejarawan, Ahmad Syalabi misalnya, menuduh para pengikut Abdullah ibn Saba’ sebagai
provokator dalam peperangan itu, sehingga usaha-usaha
rekonsiliasi dari kedua belah pihak tidak diinginkan oleh mereka, LIhat Prof.
Dr. A. Syalabi, Sejarah… Op.Cit. hlm. 251-252
[17] Prof.
Dr. A. Syalabi, Sejarah… Op.Cit. hlm. 252-256.
[18]
Harun Nasution, Teologi Islam; aliran, sejarah, analisa
perbandingan (Jakarta:UI Pres, 1986). Hlm. 6.
[19] وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ (٤٤)…
...Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.
[23] Drs.
Basuki, dkk, OPp.Cit. hal. 83-93
kata bola
BalasHapus