Website Kuliah: Studi Islam; Pendidikan Islam; Pendidikan Agama Islam; IAIN Palangka Raya

Selasa, 09 Januari 2018

WAHDAT AL-WUJUD IBN ARABI



WAHDAT AL-WUJUD IBN ARABI
Oleh: Abdullah, M. Pd. I

A.    PENDAHULUAN
Tasawuf sebagai disiplin ilmu mampu membuat dan membawa kita untuk meninggalkan segala yang berkaitan dengan duniawi dan fokus pada hal bagaimana kita dapat dekat dengan Tuhan. Banyak cara dan ajaran-ajaran yang digunakan para sufi untuk dapat dekat dengan Tuhan. Salah satu cara atau ajaran itu adalah wahdat al-wujud.
Doktrin Ibn Arabi tentang Wahdat Al-Wujud telah mewarnai keragaman pemikiran tentang sufistis. Dan juga merupakan tokoh tasawuf yang fenomenal dalam peradaban Islam. Pemikirannya juga spiritualis yang berkelahiran Spanyol kali ini menghentak-hentak kesadaran dan kemapanan. Terlebih tema-tema yang diusung menyangkut hakikat dan makna hidup yang tak pernah berhenti.
Wahdat al-wujud disini adalah ajaran bahwa wujud yang sesungguhnya itu adalah satu yaitu Tuhan dan yang lain (alam atau makhluk) adalah bayangan dari Tuhan. Ajaran ini di cetuskan oleh Ibn Arabi. Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah sederhana ini dengan Rumusan Masalah sebagai berikut:
  1. Siapakah Ibn Arabi itu?
  2. Bagaimana konsep ajaran wahdat al-wujud  Ibn Arabi ?

B.     BIOGRAFI SINGKAT IBN ARABI (560-638 H/1165-1240 M)
Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali Ahmad bin Abdullah Atha’i, berasal dari kabilah Hatim, beliau terkenal di masyarakat dengan panggilan Ibn Arabi dengan julukan Muhy al-Din (Sang Pembengkit Agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Sang Guru tertinggi). Beliau lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, 17 Ramadhan tahun 560 H atau 28 Juli tahun 1165 M,  dan meninggal pada tahun 1240 M.[1] Beliau berasal dari keluarga yang sejahtera, kaya serta sholeh.[2] Di Seville (Spanyol), Beliau mempelajari Al-Qur’an, hadis,  serta fiqh pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yakni Ibnu Hazm Azh zhahiri.
Setelah berusia 30 tahun, Beliau mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Di antara deretan guru-gurunya tercatat nama-nama, seperti Abu Madyan Al-Ghauts At-Talimsari[3] dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita). Keduanya banyak mempengaruhi ajaran-ajaran Ibn Arabi. Dikabarkan, Beliau pun pernah berjumpa dengan Ibn Rusyd, filosof Muslim dan tabib istana dinasti Berbar dari Alomohad, di Kordova.[4]  Beliau pun dikabarkan  mengunjungi Al-Mariyyah yang menjadi pusat madrasah Ibn Masarrah, seorang sufi yang cukup berpengaruh, terutama di Andalusia.
Di antara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala beliau sedang menunaikan ibadah Haji. Karya lainnya adalah Tarjuman Al-Asuywaq.[5] Karya lainya, sebagaiamana disebutkan oleh Moulavi, adalah : Masyahid Al-Asrar, Mathali Al-Anwar Al-Ilahiyyah, Hiyat Al-Abdal, Kimiya As-Sa’adat, Mudharat Al-Abrar, Kitab Al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasail Al-Ilahiyyah, Mawaqi An-Nujum, Al-Jam’wa At-Tafshil fi Haqa’iq At-Tanzil, Al-Ma’rifah Al-Ilahiyyah, dan Al-Isra ila Maqam Al-Atsna.[6]

C.    WAHDAT AL-WUJUD
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang Wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud  yang menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Ibn Taimiyah-lah yang telah berjasa dan mempopolerkan ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya adalah negatif. Di samping itu, meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdat al-wujud  untuk menyebut ajaran sentran Ibn Arabi, di pihak lain mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdat al-wujud.
Sangidu mengemukakan bahwa wahdat al-wujud  terdiri atas tiga tingkatan. Pertama, wahdat al-wujud  berarti sang hamba mengetahui bahwa Allah adalah hakekat seluruh makhluk. Akan tetapi, ia tidak menyaksikan Allah dalam ciptaannya. Kedua, wahdat al-wujud  berarti sang hamba dapat menyaksikan Allah melalui makhluk-Nya dengan kesaksian hati. Tingkatan ini lebih tinggi dari tingkatan yang pertama. Ketiga, wahdat al-wujud  sang hamba menyaksikan Allah pada makhluknya dan menyaksikan makhluk pada Allah. Dengan demikian keduanya tidak mempunyai perbedaan. Tingkatan ini lebih tinggi dari pada pertama dan kedua. Selain itu, tingkatan ini merupakan tingkatan para nabi, para wali, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka, yaitu Sholihin (Orang-orang yang berbuat baik atau saleh). Dalam tingkatan ketiga ini dikemukakan bahwa semua makhluk dilihat dari segi hakikatnya adalah Allah, sedangkan dilihat dari segi ta’ayyun-nya bukan Allah. Hal ini berdasarkan Firman Allah Swt Q.S. Al-Qaf Ayat 16 sebagai berikut:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ.
Artinya : Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

                Sementara itu terdapat hadis Nabi Saw yang artinya “Apabila seseorang mengerjakan shalat, maka sesungguhnya ia sedang menghadap kepada Allah. Jarak antara ia dengan Allah seperti ia dengan hatinya sendiri.[7]
Pengertian yang ketiga inilah yang menurut penulis sejalan dengan yang konsep ajaran wahdat al-wujud  Ibn Arabi.
Menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud  adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut  penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud  mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu wajib al-wujud yang dimiliki oleh Khalik adalah mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud  itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan, tidak ada perbedaan.[8]
            Dari pengertian yang dikemukakan di atas, Ibn Taimiyah menilai ajaran sentral Ibn Arabi itu dari aspek tasybih-nya (penyerupaan Khalik  dengan  makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari aspek Tanzih-nya (pensucian Khalik). Sebab, kedua aspek itu terdapat dalam ajaran Ibn Arabi. Akan tetapi perlu pula disadari bahwa kata-kata Ibn Arabi sendiri banyak yang membawa pengertian  seperti yang dipahami oleh Ibn Taimiyah meskipun di tempat lain Ibn Arabi membedakan Khalik dengan  makhluk dan Tuhan dengan Alam.
            Menurut Ibn Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makluk pada hakikatnya adalah wujud Khalik pula. Tidak ada perbedaan antara antara keduanya (Khalik dan Makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud Khalik dan Makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kamampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibn Arabi berikut ini:
سُبَحَانَ مَنْ أَظْهَرَ الأشياءَ وهو عَيْنُهَا.

Artinya : “Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikatnya segala sesuatu itu.”[9]

            Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Bahkan, antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn Arabi mengemukakan lewat syairnya berikut ini:
العبدُ ربٌّ، والربُّ عبدٌ
يا لَيْتَ شُعُوْرِي مَنِ الْمُكَلَّفُ
إِنْ قُلتَ عَبْدٌ فَذاكَ رَبٌّ
أَوْ قُلْتَ رَبٌّ أَنىَّ يُكَلَّفُ.
Artinya: “Hamba adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba. Demi syu’ur (perasaan)ku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba, padahal dia Tuhan juga. Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?[10]

            Kalau antara Khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibn Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khalik dari sisi yang satu dan makhluk  dari yang lain. Jika mereka memandang keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduanya, yakni Dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.[11]
            Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Ibn Arabi pun menyatakan dalam syairnya sebagai berikut:
فَالْحَقُّ خَلْقٌ بِهذا اْلوَجْهِ فَاعْتَبِرُوْا
       وَلَيْسَ خَلْقًا بِذَاكَ الْوَجْهِ فَاذْكُرُوا
مَنْ يَدْرِ مَا قُلْتُ لَهُمْ تَخْذُلُ بَصِيْرَتُهُ
       وَليسَ يَدْرِيْهِ إلاَّ مَنْ لَهُ بَصَرٌ
جَمِّعْ وَفَرِّقْ فَإِنَّ الْعَيْنَ وَاحِدٌ
       وَهِيَ الْكَثِيْرَةُ لاَ تَبْقَى ولا تَذُرُّ.

Artinya:”Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkanlah pada sisi lain, Dia bukanlah makhluk, maka renungkanlah. Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakan, penglihatannya tidak akan pernah kabur.Tidak ada yang akan dapat menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan. Satukan dan pisahkanlah (bedakan), sebab ’ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu. Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan tidak pula buyar.

            Dari keterangan di atas, terkesan bahwa bahwa wujud Tuhan adalah juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah barat disebut  panteisme dan yang didefinisikan Henry C. Theissen seperti berikut ini:
”Panteisme adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Ia memandang Tuhan sebagai satu dengan natural (alam). Tuhan adalah semuanya, semuanya adalah Tuhan.”[12]

            Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud tuhan dan wujud alam dan wujud tuhan bersatu dengan wujud alam, kemudian dibandingkan dengan pengertian panteisme di atas, pemahaman Ibn Taimiyah tentang Wahdat al-wujud ada benarnya. Meskipun demikian, perlu pula diingat di sini bahwa apabila Ibn Arabi menyebutkan wujud, maksudnya tidak lain adalah wujud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya ”wujud”, menurut Ibn Arabi, adalah wujud  Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apa pun selain Tuhan, baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Kesimpulannya, kata Wujud tidak diberikan kepada selain Tuhan. Akan tetapi, kenyataan Ibn Arabi juga menggunakan kata wujud  untuk menyebut sesuatu selain tuhan. Namun, beliau mengatakan bahwa wujud itu hanya kepunyaan Tuhan, sedangkan  wujud yang ada pada alam pada hakikatnya  adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk memperjelas penjelasannya, Ibn Arabi memberikan contoh berupa cahaya hanya milik matahari, namun cahaya itu dipinjamkan kepada para penduduk bumi.
            Dalam bentuk lain dapat dijelaskan di sini bahwa makhluk diciptakan oleh Khalik (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain tuhan tidak akan mempunyai wujud, seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, Tuhanlah sebenarnya mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai  wujud yang bergantung pada wujud yang diluar dirinya, yaitu wujud Tuhan.
            Selanjutnya, Ibn Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam, Menurutnya, alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki  dan alam itu tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena  itu, alam ini merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan) Tuhan.
            Menurut Ibn Arabi, ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin  yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapa pun.
            Dalam Fushush Al-Hikam, Ibn Arabi menjelaskan hal tesebut dengan ungkapan syairnya:
وَمَا الْوَجْهُ إِلاَّ وَاحِدٌ، غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا أَنْتَ أَعْدَدْتَ الْمَرَايَا.
Artinya : ”Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika Anda perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak”.

Untuk memperkuat pendiriannya itu, Ibn Arabi merujuk sebuah hadis Qudsi:
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِهِ عَرَفُوْنِيْ.
Artinya: ”Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk. Lalu dengan itulah mereka mengenal Aku.

Dalam syairnya ia menjelaskan konsep tanzih (mensucikan) dan tasybih (menyamakan) pada Allah sebagai berikut :
Jika engkau berkata tanzih, engkau mengikat-Nya Jika engkau hanya berkata dengan tasybih, engkau membatasi-Nya.
Jika engkau berkata dengan kedua-duanya, engkau adalah benar dan engkau adalah imam dan tuan dalam berbagai pengetahuan.
Siapa saja yang berkata dengan dualistis Allah dan alam adalah musyrik
Dan siapa saja yang berkata dengan pemisahan Allah dari alam dialah muwahhid. Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan tasybih jika engkau mengakui dualistis, dan berhati- hatilah terhadap tanzih jika engkau mengakui monistis.
Engkau bukanlah Dia, tetapi engkau adalah Dia dan engkau melihanya dalam a’in segala sesuatu, baik sebagai sesautu yang terlepas maupun sesuatu yang terikat.

Selanjutnya, Ibn Arabi menjelaskan bahwa firman Allah :
شيء ليس كمثله , mengandung pengertian “Tanzilkanlah Dia”,sedangkan firman-Nya, "وهو السميع البصير"Mengandung pengertian, “Tasybihkanlah Dia”. Dengan demikian, firman Allah, “شيء وهو السميع البصير ليس كمثله, mengandung pengertian,”Tasybih-kanlah Dia dan jadilah dualistis dan tanzih-kanlah Dia dan jadilah monistis.[13]
Dari kutipan-kutipan di atas, jelas bahwa Ibn Arabi masih membedakan antara Tuhan dan alam, dan wujud Tuhan tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di satu sisi terkesan telah menyamakan alam dengan Tuhan, namun di sisi lain beliau telah mensucikan Tuhan dari adanya persamaan. Disamping itu, jika kita samakan dengan panteisme yang dirumuskan oleh Norman L. Geisler di atas yang menyatakan tidak ada pencipta di luar alam, maka paham wahdat al-wujud menurut konsep Ibn Arabi ternyata tidak sama dengan paham panteisme, sedangkan Ibn Arabi masih mengakui bahwa alam ini diciptakan Tuhan dan Tuhan itu di luar alam, sedangkan alam hanya mazhar-Nya, mazhar asma, dan sifat-sifat-Nya.
Dari konsep wahdat al-wujud Ibn Arabi ini, muncul lagi dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdat al-wujud, yaitu kosep al-hakikat al-muhammadiyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama).
Ibn Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran Hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama              : Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri
                              dan tidak berhajat pada sesuatu apapun.
Kedua                : Wujud Hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan)
pertama dari wujud Tuhan dan dari sini kemudian muncul segala yang wujud.
Dengan demikian, Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada. Selanjutnya, Beliau mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak Adam sampai Muhammad dan terealisasikan dari muhammad pada diri para pengikutnya dari kalangan para wali dan person-person Insan Kamil (manusia sempurna). Ibn Arabi kadang-kadang menyebut Hakikat Muhammadiyah tersebut  dengan Quthb dan kadang-kadang pula dengan Roh al-khatam.[14]
Adapun yang berkenaan dengan konsepnya, wahdat al-adyan (kesamaan agama), Ibn Arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu Hakikat Muhammadiyah. Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang benar-benar arif adalah orang yang menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang semua sebagai bagian dari ruang lingkup realitas Dzat Tuhan yang tunggal sebagaimana yang dikemukakan dalam syairnya berikut ini:
Kini kalbuku dapat menampung semua ilalang perburuan kijang atau bicara pendeta. Kuil pemuja berhala atau ka’bah, Lauh dan mashaf Al-Quran. Aku hanya memeluk agama cinta ke mana pun kendaraanku menghadap, karena cinta adalah agamaku dan imanku.”[15]

            Pernyataan Ibn Arabi tersebut membuat banyak dikecam oleh berbagai kalangan Muslim karena ada kesan bahwa Ibn Arabi mempunyai pemikiran bahwa semua agama itu sama. Menurut para penulis, pernyataan Ibn Arabi ini terlalu berlebihan dan tidak memiliki landasan atau dasar yang kuat, sebab agama-agama berbeda satu sama lain.[16]













D.    SIMPULAN

Pemikiran Ibn Arabi dalam konsep Wahdat Al-Wujud, kita dapat mengambil ajaran yang sesuai yaitu logika penyatuan wujud (wahdat al-wujud), menurut Ibn Arabi, akan menghilangkan esensi agama apapun yang diturunkan, dan akan menghilangkan tanda-tanda ke-Tuhanan yang diketahui oleh orang awam. Namun, bukan hal seperti itu yang sebenarnya Ibn Arabi bangun. Akan tetapi sebenarnya ajaran yang paling tepat untuk kita ambil sesuai dengan kekinian adalah agar kita dapat mengenal Allah lebih dalam lagi dengan melihat segala ciptaan Allah yang ada di alam ini, dengan penglihatan dalam renungan dan menyadari betapa Maha Besar Allah yang telah menciptakan segala sesuatunya dengan sempurna. Oleh karena itu, melalui alam manusia dapat mengenal Allah sebagai Sang Pencipta.  Oleh karena itu pula, apabila seseorang ingin mengenal Tuhannya mulailah dengan mengenal dirinya sendiri sebab diri manusia dan alam adalah cara bagaimana kita dapat mengenal Allah Swt.
















DAFTAR PUSTAKA

Arabi, Ibn. t.t.  Al-Futuhat Al-Makkiyyah, Jilid II.  Beirut : Dar Shadir.

                  t.t. Fushush Al-Hikam wa At-Ta’liqat alaih, Ed. Abu Abu Al-Ala Afifi. Beirut : Dar Al-Fikr.

At-Tazani, Abu al-Wafa Al-Ghanimi. 1983. Madkhal Ila At-Tasawwuf Al-Islam. Kairo : Dar As-Saqafat Li An-Nasyr wa At-Tauzi.

Azhari Noer, Kautsar. 1995. Ibn Al-Arabi Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan. Paramidana.

Faruq Al-Mu’th, Abdul. 1993. Al-A’lam Min Falasifahi Muhyiddin Ibn ‘Arabi Hayatuhu-Mazhabuhu. Beirut : Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah.

Husaini,  Maolavi S.AQ. t.t. Ibn Al-Arabi, Muhammad Asraf. Lahore.

Mahdi, Muhammad Al-Istambuli. 1977. Ibn Taimiyah : Bathal Al-Ishlah Ad-Diniy. Damaskus : Dar Al-Ma’rifah.

Mufid, Husnu. 2009. Tokoh Wahdatul Wujud. Bantul : Kreasi Wacana offset.

Mustafa Hilmi, Muhammad. 1984. Al-Hayat Ar-Ruhiyyah fi Al-Islam. Mesir: Al-Hai’at Al-Mishriyyah Al-Ammah li Al-Kitab.

Sagidu. 2003.  Wahdatul Wujud-  Polemik pemikiran sufistik antara Hamzah fansuri dan Syamsuddin As-Samatrani dengan Nuruddin Ar-Raniri. Yogyakarta : Gama Media.

Annemarei. 1975. Mytical Dimension of Islam, terj. Supardi Djoko Damono. Jakarta : Pustaka Firdaus.

Solihin, M. 2003. Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman. Bandung : Pustaka Setia.

Yasir Syaraf, Muhammad. 1987. Harakat At-Tasawuf Al-Islam. Mesir : Al-Hai’at Al-Mishiriyyah Al-Ammah li Al-Kitab.


[1] Drs. Husnu Mufid, M. Pd. I, Tokoh Wahdatul Wujud, (Bantul : Kreasi Wacana offset, 2009), hal. 25.
[2] Abdul Faruq Al-Mu’th, Al-A’lam Min Falasifahi Muhyiddin Ibn ‘Arabi Hayatuhu-Mazhabuhu, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 1431 H/1993 M), hal. 23.

[3] Abu al-Wafa At-Tazani Al-Ghanimi. Madkhal Ila At-Tasawwuf Al-Islam, (Kairo : Dar As-Saqafat Li An-Nasyr wa At-Tauzi, 1983), hal. 20
[4] Annemarei Schimmel, Mytical Dimension of Islam, terj. Supardi Djoko Damono, ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1975), hal. 272.
[5] Dr. M. Solihin, M. Ag., Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hal. 153-154.
[6] Maolavi S.AQ. husaini, Ibn Al-Arabi, Muhammad Asraf, (Lahore, t.t), hal. 34-36. Brockelmann menghitung kira-kira 150 karya Ibn Arabi yang masih ada. Dari katalog perpustakaan kerajaan Mesir saja, terdapat kira-kira 90 sisa karyanya yang masih ada, kebanyakan berupa manuskrip. Ibn Arabi sendiri diperkirakan pernah menyebut 289 tulisan di dalam sebuah catatan yang ditulisnya tahun 1234 M. Jami mengatakan bahwa Ibn arabi pernah menulis lebih dari 500 buku, termasuk fusus dan futuhat yang sangat terkenal, dan Shar'ani mengatakan bahwa Ibn Arabi memiliki sekitar 400 karya, lihat William C. Chittik, “Ibn Arabi dan Madzhabnya” dalam Seyyed H. Nasser, ed. Ensiklopedi Tematik Spiritual Islam : Manifestasi (Bandung :Mizan, 2002), hal 70.

[7] Dr. Sagidu, M. Hum, Wahdatul Wujud-  Polemik pemikiran sufistik antara Hamzah fansuri dan Syamsuddin As-Samatrani dengan Nuruddin Ar-Raniri, (Yogyakarta : Gama Media, 2003), hal.46-47.
[8] Muhammad Mahdi Al-Istambuli, Ibn Taimiyah : Bathal Al-Ishlah Ad-Diniy, (Damaskus : Dar Al-Ma’rifah, 1397 H/1977M), hal. 59.
[9] Ibn Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyyah,Jilid II, (Beirut : Dar Shadir, t.t), hal. 604.
[10] Ibn Arabi, Fushush Al-Hikam wa At-Ta’liqat alaih, Ed. Abu Abu Al-Ala Afifi, (Beirut : Dar Al-Fikr, t.t.), hal. 92.
[11] Muhammad mustafa Hilmi, Al-Hayat Ar-Ruhiyyah fi Al-Islam, (Mesir: Al-Hai’at Al-Mishriyyah Al-Ammah li Al-Kitab, 1984), hal. 182.
[12] Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-Arabi Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan, (Paramidana, 1995), hal 162.
[13] Ibn Arabi, Fushush..., Op.Cit. hal. 70.
[14] Muhammad Yasir Syaraf, Harakat At-Tasawuf Al-Islam, (Mesir : Al-Hai’at Al-Mishiriyyah Al-Ammah li Al-Kitab, 1987), hal. 221-222.
[15] Muhammad mustafa Hilmi, Al-Hayat..., Op. Cit. Hal. 180
[16]Dr. M. Solihin, M. Ag., Tokoh-tokoh...Op.Cit., hal. 162.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Web Kuliah Abdullah | Powered by Blogger | Design by ronangelo Theme Editor: Abdullah Jejangkit | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com