WAHDAT AL-WUJUD IBN ARABI
Oleh: Abdullah, M. Pd. I
A. PENDAHULUAN
Tasawuf sebagai disiplin ilmu
mampu membuat dan membawa kita untuk meninggalkan segala yang berkaitan dengan
duniawi dan fokus pada hal bagaimana kita dapat dekat dengan Tuhan. Banyak cara dan ajaran-ajaran yang
digunakan para sufi untuk dapat dekat dengan Tuhan. Salah satu cara atau ajaran
itu adalah wahdat al-wujud.
Doktrin Ibn Arabi tentang Wahdat Al-Wujud telah mewarnai keragaman
pemikiran tentang sufistis. Dan juga
merupakan tokoh tasawuf yang fenomenal dalam peradaban Islam. Pemikirannya juga
spiritualis yang berkelahiran Spanyol kali ini menghentak-hentak kesadaran dan
kemapanan. Terlebih tema-tema yang diusung menyangkut hakikat dan makna hidup
yang tak pernah berhenti.
Wahdat al-wujud disini adalah ajaran bahwa wujud yang
sesungguhnya itu adalah satu yaitu Tuhan dan yang lain (alam atau makhluk)
adalah bayangan dari Tuhan. Ajaran ini di cetuskan oleh Ibn Arabi. Untuk lebih
jelasnya akan dibahas dalam makalah sederhana ini dengan Rumusan Masalah
sebagai berikut:
- Siapakah Ibn Arabi itu?
- Bagaimana konsep ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi ?
B.
BIOGRAFI SINGKAT IBN ARABI (560-638 H/1165-1240
M)
Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali Ahmad bin Abdullah Atha’i,
berasal dari kabilah Hatim, beliau terkenal di masyarakat dengan panggilan Ibn Arabi
dengan julukan Muhy al-Din (Sang Pembengkit Agama) dan al-Syaikh
al-Akbar (Sang Guru tertinggi). Beliau lahir di Murcia, Andalusia Tenggara,
Spanyol, 17 Ramadhan tahun 560 H atau 28 Juli tahun 1165 M, dan meninggal pada tahun 1240 M.[1] Beliau
berasal dari keluarga yang sejahtera, kaya serta sholeh.[2] Di
Seville (Spanyol), Beliau mempelajari Al-Qur’an, hadis, serta fiqh pada sejumlah murid seorang faqih
Andalusia terkenal, yakni Ibnu Hazm Azh zhahiri.
Setelah berusia 30 tahun, Beliau mulai berkelana ke berbagai kawasan
Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Di antara deretan guru-gurunya
tercatat nama-nama, seperti Abu Madyan Al-Ghauts At-Talimsari[3] dan
Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita). Keduanya banyak mempengaruhi
ajaran-ajaran Ibn Arabi. Dikabarkan, Beliau pun pernah berjumpa dengan Ibn
Rusyd, filosof Muslim dan tabib istana dinasti Berbar dari Alomohad, di
Kordova.[4] Beliau pun dikabarkan mengunjungi Al-Mariyyah yang menjadi pusat
madrasah Ibn Masarrah, seorang sufi yang cukup berpengaruh, terutama di
Andalusia.
Di antara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-Makiyyah yang
ditulis pada tahun 1201 tatkala beliau sedang menunaikan ibadah Haji. Karya lainnya
adalah Tarjuman Al-Asuywaq.[5]
Karya lainya, sebagaiamana disebutkan oleh Moulavi, adalah : Masyahid
Al-Asrar, Mathali Al-Anwar Al-Ilahiyyah, Hiyat Al-Abdal, Kimiya As-Sa’adat,
Mudharat Al-Abrar, Kitab Al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasail Al-Ilahiyyah, Mawaqi
An-Nujum, Al-Jam’wa At-Tafshil fi Haqa’iq At-Tanzil, Al-Ma’rifah Al-Ilahiyyah,
dan Al-Isra ila Maqam Al-Atsna.[6]
C. WAHDAT AL-WUJUD
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang Wahdat al-wujud (kesatuan
wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud yang menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah
berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam
mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Ibn Taimiyah-lah yang telah
berjasa dan mempopolerkan ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya adalah
negatif. Di samping itu, meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdat
al-wujud untuk menyebut ajaran
sentran Ibn Arabi, di pihak lain mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan
pengertian wahdat al-wujud.
Sangidu mengemukakan bahwa wahdat al-wujud terdiri atas tiga tingkatan. Pertama, wahdat
al-wujud berarti sang hamba mengetahui
bahwa Allah adalah hakekat seluruh makhluk. Akan tetapi, ia tidak menyaksikan Allah
dalam ciptaannya. Kedua, wahdat al-wujud berarti sang hamba dapat menyaksikan Allah
melalui makhluk-Nya dengan kesaksian hati. Tingkatan ini lebih tinggi dari
tingkatan yang pertama. Ketiga, wahdat al-wujud sang hamba menyaksikan Allah pada makhluknya
dan menyaksikan makhluk pada Allah. Dengan demikian keduanya tidak mempunyai
perbedaan. Tingkatan ini lebih tinggi dari pada pertama dan kedua. Selain itu,
tingkatan ini merupakan tingkatan para nabi, para wali, dan orang-orang yang
mengikuti jalan mereka, yaitu Sholihin (Orang-orang yang berbuat baik
atau saleh). Dalam tingkatan ketiga ini dikemukakan bahwa semua makhluk dilihat
dari segi hakikatnya adalah Allah, sedangkan dilihat dari segi ta’ayyun-nya
bukan Allah. Hal ini berdasarkan Firman Allah Swt Q.S. Al-Qaf Ayat 16 sebagai
berikut:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ
وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ
الْوَرِيدِ.
Artinya : Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya.
Sementara itu terdapat
hadis Nabi Saw yang artinya “Apabila seseorang mengerjakan shalat, maka
sesungguhnya ia sedang menghadap kepada Allah. Jarak antara ia dengan Allah
seperti ia dengan hatinya sendiri.[7]
Pengertian yang ketiga inilah yang menurut penulis sejalan dengan yang
konsep ajaran wahdat al-wujud Ibn
Arabi.
Menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam.
Menurut penjelasannya, orang-orang yang
mempunyai paham wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya
satu wajib al-wujud yang dimiliki oleh Khalik adalah mumkin
al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang
mempunyai paham wahdat al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama
dengan wujud Tuhan, tidak ada perbedaan.[8]
Dari pengertian yang dikemukakan di
atas, Ibn Taimiyah menilai ajaran sentral Ibn Arabi itu dari aspek tasybih-nya
(penyerupaan Khalik dengan makhluk) saja, tetapi belum menilainya
dari aspek Tanzih-nya (pensucian Khalik). Sebab, kedua aspek itu
terdapat dalam ajaran Ibn Arabi. Akan tetapi perlu pula disadari bahwa
kata-kata Ibn Arabi sendiri banyak yang membawa pengertian seperti yang dipahami oleh Ibn Taimiyah
meskipun di tempat lain Ibn Arabi membedakan Khalik dengan makhluk dan Tuhan dengan Alam.
Menurut Ibn Arabi, wujud semua yang
ada ini hanya satu dan wujud makluk pada hakikatnya adalah wujud Khalik pula.
Tidak ada perbedaan antara antara
keduanya (Khalik dan Makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada
yang mengira bahwa antara wujud Khalik dan Makhluk ada perbedaan,
hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas
kamampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah
yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam
ucapan Ibn Arabi berikut ini:
سُبَحَانَ
مَنْ أَظْهَرَ الأشياءَ وهو عَيْنُهَا.
Artinya : “Mahasuci Tuhan yang
telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikatnya segala
sesuatu itu.”[9]
Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada
hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada
perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khalik dengan
wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid (menyembah) dengan ma’bud (yang
disembah). Bahkan, antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu.
Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam hakikat yang satu. Untuk pernyataan
tersebut, Ibn Arabi mengemukakan lewat syairnya berikut ini:
العبدُ
ربٌّ، والربُّ عبدٌ
يا لَيْتَ شُعُوْرِي مَنِ الْمُكَلَّفُ
إِنْ
قُلتَ عَبْدٌ فَذاكَ رَبٌّ
أَوْ قُلْتَ رَبٌّ أَنىَّ يُكَلَّفُ.
Artinya: “Hamba adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba. Demi syu’ur
(perasaan)ku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba, padahal dia
Tuhan juga. Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?[10]
Kalau
antara Khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa
terlihat dua? Ibn Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandangnya
dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya
adalah Khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari yang lain. Jika mereka memandang
keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat
mengetahui hakikat keduanya, yakni Dzatnya satu yang tidak terbilang dan
berpisah.[11]
Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, Ibn Arabi pun menyatakan dalam syairnya sebagai
berikut:
فَالْحَقُّ
خَلْقٌ بِهذا اْلوَجْهِ فَاعْتَبِرُوْا
وَلَيْسَ خَلْقًا بِذَاكَ الْوَجْهِ
فَاذْكُرُوا
مَنْ
يَدْرِ مَا قُلْتُ لَهُمْ تَخْذُلُ بَصِيْرَتُهُ
وَليسَ يَدْرِيْهِ إلاَّ مَنْ لَهُ بَصَرٌ
جَمِّعْ
وَفَرِّقْ فَإِنَّ الْعَيْنَ وَاحِدٌ
وَهِيَ الْكَثِيْرَةُ لاَ تَبْقَى ولا
تَذُرُّ.
Artinya:”Pada satu sisi,
Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkanlah pada sisi lain, Dia bukanlah makhluk,
maka renungkanlah. Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakan,
penglihatannya tidak akan pernah kabur.Tidak ada yang akan dapat menangkapnya,
kecuali orang yang memiliki penglihatan. Satukan dan pisahkanlah (bedakan), sebab ’ain (hakikat) itu sesungguhnya
hanya satu. Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan tidak
pula buyar.
Dari
keterangan di atas, terkesan bahwa bahwa wujud Tuhan adalah juga wujud
alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah barat
disebut panteisme dan yang
didefinisikan Henry C. Theissen seperti berikut ini:
”Panteisme adalah teori yang berpendapat
bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian belaka
dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Ia memandang Tuhan
sebagai satu dengan natural (alam). Tuhan adalah semuanya, semuanya adalah
Tuhan.”[12]
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud
tuhan dan wujud alam dan wujud tuhan bersatu dengan wujud alam, kemudian
dibandingkan dengan pengertian panteisme di atas, pemahaman Ibn Taimiyah
tentang Wahdat al-wujud ada benarnya. Meskipun demikian, perlu pula
diingat di sini bahwa apabila Ibn Arabi menyebutkan wujud, maksudnya tidak lain
adalah wujud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya ”wujud”, menurut Ibn
Arabi, adalah wujud Tuhan, tidak ada
wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apa pun selain Tuhan, baik berupa alam
maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Kesimpulannya, kata Wujud
tidak diberikan kepada selain Tuhan. Akan tetapi, kenyataan Ibn Arabi juga
menggunakan kata wujud untuk
menyebut sesuatu selain tuhan. Namun, beliau mengatakan bahwa wujud itu
hanya kepunyaan Tuhan, sedangkan wujud
yang ada pada alam pada hakikatnya
adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk memperjelas penjelasannya,
Ibn Arabi memberikan contoh berupa cahaya hanya milik matahari, namun cahaya
itu dipinjamkan kepada para penduduk bumi.
Dalam bentuk lain dapat dijelaskan di sini bahwa makhluk
diciptakan oleh Khalik (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan
sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain
tuhan tidak akan mempunyai wujud, seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu,
Tuhanlah sebenarnya mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya
mempunyai wujud yang bergantung pada
wujud yang diluar dirinya, yaitu wujud Tuhan.
Selanjutnya, Ibn Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan
dan alam, Menurutnya, alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang
hakiki dan alam itu tidak mempunyai
wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu,
alam ini merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan) Tuhan.
Menurut Ibn Arabi, ketika Allah menciptakan alam ini, Ia
juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti
cermin yang buram dan seperti badan yang
tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas
cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan)
dari asma dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya
itu akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam
ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh
siapa pun.
Dalam Fushush Al-Hikam, Ibn Arabi menjelaskan hal
tesebut dengan ungkapan syairnya:
وَمَا
الْوَجْهُ إِلاَّ وَاحِدٌ، غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا أَنْتَ أَعْدَدْتَ الْمَرَايَا.
Artinya : ”Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika Anda perbanyak
cermin, ia pun menjadi banyak”.
Untuk memperkuat pendiriannya
itu, Ibn Arabi merujuk sebuah hadis Qudsi:
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ
أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِهِ عَرَفُوْنِيْ.
Artinya: ”Aku
pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian aku ingin
dikenal, maka Kuciptakan makhluk. Lalu dengan itulah mereka mengenal Aku.
Dalam syairnya ia menjelaskan
konsep tanzih (mensucikan) dan tasybih
(menyamakan) pada Allah sebagai berikut :
Jika engkau berkata tanzih, engkau
mengikat-Nya Jika engkau hanya berkata dengan tasybih, engkau membatasi-Nya.
Jika engkau berkata dengan kedua-duanya,
engkau adalah benar dan engkau adalah imam dan tuan dalam berbagai pengetahuan.
Siapa saja yang berkata dengan dualistis Allah dan alam adalah musyrik
Dan siapa saja yang berkata dengan pemisahan Allah dari alam dialah muwahhid. Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan tasybih jika engkau mengakui dualistis, dan berhati- hatilah terhadap tanzih jika engkau mengakui monistis.
Dan siapa saja yang berkata dengan pemisahan Allah dari alam dialah muwahhid. Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan tasybih jika engkau mengakui dualistis, dan berhati- hatilah terhadap tanzih jika engkau mengakui monistis.
Engkau bukanlah Dia, tetapi engkau adalah
Dia dan engkau melihanya dalam a’in segala sesuatu, baik sebagai sesautu yang
terlepas maupun sesuatu yang terikat.
Selanjutnya, Ibn Arabi
menjelaskan bahwa firman Allah :
“ شيء ليس
كمثله , mengandung pengertian “Tanzilkanlah
Dia”,sedangkan firman-Nya,
"وهو السميع البصير"Mengandung
pengertian, “Tasybihkanlah Dia”.
Dengan demikian, firman Allah, “شيء وهو السميع البصير ليس كمثله”, mengandung pengertian,”Tasybih-kanlah Dia dan jadilah dualistis
dan tanzih-kanlah Dia dan jadilah monistis.[13]
Dari kutipan-kutipan di atas, jelas bahwa Ibn
Arabi masih membedakan antara Tuhan dan alam, dan wujud Tuhan tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di satu sisi terkesan telah menyamakan
alam dengan Tuhan, namun di sisi lain beliau telah mensucikan Tuhan dari adanya
persamaan. Disamping itu, jika kita samakan dengan panteisme
yang dirumuskan oleh Norman L. Geisler di atas yang menyatakan tidak ada
pencipta di luar alam, maka paham wahdat al-wujud menurut konsep Ibn Arabi ternyata tidak sama
dengan paham panteisme, sedangkan
Ibn Arabi masih mengakui bahwa alam ini diciptakan Tuhan dan Tuhan itu di luar
alam, sedangkan alam hanya mazhar-Nya, mazhar asma, dan sifat-sifat-Nya.
Dari konsep wahdat al-wujud Ibn Arabi ini, muncul
lagi dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdat
al-wujud, yaitu kosep al-hakikat al-muhammadiyah dan konsep wahdat
al-adyan (kesamaan agama).
Ibn Arabi
menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran Hakikat
Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian
proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Pertama : Wujud Tuhan sebagai wujud
mutlak, yaitu Dzat yang mandiri
dan tidak
berhajat pada sesuatu apapun.
Kedua : Wujud Hakikat Muhammadiyah sebagai
emanasi (pelimpahan)
pertama dari wujud Tuhan dan dari sini
kemudian muncul segala yang wujud.
Dengan
demikian, Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini
diciptakan dari tiada. Selanjutnya, Beliau mengatakan bahwa Nur Muhammad itu
qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam
kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada diri para nabi
semenjak Adam sampai Muhammad dan terealisasikan dari muhammad pada diri para
pengikutnya dari kalangan para wali dan person-person Insan Kamil (manusia
sempurna). Ibn Arabi kadang-kadang menyebut Hakikat Muhammadiyah tersebut
dengan Quthb dan kadang-kadang
pula dengan Roh al-khatam.[14]
Adapun yang
berkenaan dengan konsepnya, wahdat al-adyan (kesamaan agama), Ibn Arabi
memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu Hakikat Muhammadiyah.
Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah.
Seorang yang benar-benar arif adalah orang yang menyembah Allah dalam setiap
bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar
hendaknya seorang abid memandang semua sebagai bagian dari ruang lingkup
realitas Dzat Tuhan yang tunggal sebagaimana yang dikemukakan dalam syairnya
berikut ini:
“Kini kalbuku dapat menampung semua ilalang
perburuan kijang atau bicara pendeta. Kuil pemuja berhala atau ka’bah, Lauh dan
mashaf Al-Quran. Aku hanya memeluk agama cinta ke mana pun kendaraanku
menghadap, karena cinta adalah agamaku dan imanku.”[15]
Pernyataan
Ibn Arabi tersebut membuat banyak dikecam oleh berbagai kalangan Muslim karena
ada kesan bahwa Ibn Arabi mempunyai pemikiran bahwa semua agama itu sama.
Menurut para penulis, pernyataan Ibn Arabi ini terlalu berlebihan dan tidak
memiliki landasan atau dasar yang kuat, sebab agama-agama berbeda satu sama
lain.[16]
D. SIMPULAN
Pemikiran Ibn Arabi dalam
konsep Wahdat Al-Wujud, kita dapat mengambil ajaran yang sesuai yaitu
logika penyatuan wujud (wahdat al-wujud), menurut Ibn Arabi, akan
menghilangkan esensi agama apapun yang diturunkan, dan akan menghilangkan
tanda-tanda ke-Tuhanan yang diketahui oleh orang awam. Namun, bukan hal seperti
itu yang sebenarnya Ibn Arabi bangun. Akan tetapi sebenarnya ajaran yang paling
tepat untuk kita ambil sesuai dengan kekinian adalah agar kita dapat mengenal
Allah lebih dalam lagi dengan melihat segala ciptaan Allah yang ada di alam ini,
dengan penglihatan dalam renungan dan menyadari betapa Maha Besar Allah yang
telah menciptakan segala sesuatunya dengan sempurna. Oleh karena itu, melalui
alam manusia dapat mengenal Allah sebagai Sang Pencipta. Oleh karena itu pula, apabila seseorang ingin
mengenal Tuhannya mulailah dengan mengenal dirinya sendiri sebab diri manusia
dan alam adalah cara bagaimana kita dapat mengenal Allah Swt.
DAFTAR PUSTAKA
Arabi, Ibn. t.t. Al-Futuhat Al-Makkiyyah, Jilid
II. Beirut : Dar Shadir.

At-Tazani, Abu al-Wafa
Al-Ghanimi. 1983. Madkhal Ila
At-Tasawwuf Al-Islam. Kairo : Dar
As-Saqafat Li An-Nasyr wa At-Tauzi.
Azhari Noer,
Kautsar. 1995. Ibn Al-Arabi Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan. Paramidana.
Faruq Al-Mu’th, Abdul.
1993. Al-A’lam Min Falasifahi Muhyiddin Ibn ‘Arabi Hayatuhu-Mazhabuhu. Beirut
: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah.
Husaini, Maolavi S.AQ. t.t. Ibn Al-Arabi, Muhammad
Asraf. Lahore.
Mahdi, Muhammad
Al-Istambuli. 1977. Ibn Taimiyah : Bathal Al-Ishlah Ad-Diniy. Damaskus :
Dar Al-Ma’rifah.
Mufid, Husnu. 2009. Tokoh
Wahdatul Wujud. Bantul : Kreasi Wacana offset.
Mustafa Hilmi,
Muhammad. 1984. Al-Hayat Ar-Ruhiyyah fi Al-Islam. Mesir: Al-Hai’at
Al-Mishriyyah Al-Ammah li Al-Kitab.
Sagidu. 2003. Wahdatul
Wujud- Polemik pemikiran sufistik antara
Hamzah fansuri dan Syamsuddin As-Samatrani dengan Nuruddin Ar-Raniri. Yogyakarta
: Gama Media.
Annemarei. 1975. Mytical Dimension of Islam,
terj. Supardi Djoko Damono. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Solihin, M. 2003. Tokoh-tokoh
Sufi Lintas Zaman. Bandung : Pustaka Setia.
Yasir Syaraf, Muhammad. 1987. Harakat
At-Tasawuf Al-Islam. Mesir : Al-Hai’at Al-Mishiriyyah Al-Ammah li Al-Kitab.
[1] Drs. Husnu Mufid, M. Pd. I, Tokoh
Wahdatul Wujud, (Bantul : Kreasi Wacana offset, 2009), hal. 25.
[2] Abdul Faruq Al-Mu’th, Al-A’lam Min
Falasifahi Muhyiddin Ibn ‘Arabi Hayatuhu-Mazhabuhu, (Beirut : Dar Al-Kutub
Al-Islamiyyah, 1431 H/1993 M), hal. 23.
[3] Abu al-Wafa At-Tazani Al-Ghanimi. Madkhal
Ila At-Tasawwuf Al-Islam, (Kairo : Dar As-Saqafat Li An-Nasyr wa At-Tauzi,
1983), hal. 20
[4]
Annemarei Schimmel, Mytical Dimension of Islam, terj. Supardi Djoko
Damono, ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1975), hal. 272.
[5] Dr. M. Solihin, M. Ag., Tokoh-tokoh
Sufi Lintas Zaman, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hal. 153-154.
[6] Maolavi S.AQ. husaini, Ibn Al-Arabi, Muhammad
Asraf, (Lahore, t.t), hal. 34-36. Brockelmann menghitung kira-kira 150 karya
Ibn Arabi yang masih ada. Dari katalog perpustakaan kerajaan Mesir saja,
terdapat kira-kira 90 sisa karyanya yang masih ada, kebanyakan
berupa manuskrip. Ibn Arabi sendiri diperkirakan pernah menyebut 289 tulisan
di dalam sebuah catatan yang ditulisnya tahun 1234 M. Jami
mengatakan bahwa Ibn arabi pernah menulis lebih dari 500
buku, termasuk fusus dan futuhat yang sangat terkenal, dan
Shar'ani mengatakan bahwa Ibn Arabi memiliki sekitar 400
karya, lihat William C. Chittik, “Ibn Arabi dan
Madzhabnya” dalam Seyyed H. Nasser,
ed. Ensiklopedi Tematik Spiritual Islam : Manifestasi (Bandung :Mizan, 2002), hal 70.
[7]
Dr. Sagidu, M. Hum, Wahdatul Wujud- Polemik
pemikiran sufistik antara Hamzah fansuri dan Syamsuddin As-Samatrani dengan
Nuruddin Ar-Raniri, (Yogyakarta : Gama Media, 2003), hal.46-47.
[8] Muhammad Mahdi Al-Istambuli, Ibn
Taimiyah : Bathal Al-Ishlah Ad-Diniy, (Damaskus : Dar Al-Ma’rifah, 1397
H/1977M), hal. 59.
[9] Ibn Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyyah,Jilid
II, (Beirut : Dar Shadir, t.t), hal. 604.
[10] Ibn Arabi, Fushush Al-Hikam wa
At-Ta’liqat alaih, Ed. Abu Abu Al-Ala Afifi, (Beirut : Dar Al-Fikr, t.t.), hal. 92.
[11] Muhammad mustafa Hilmi, Al-Hayat
Ar-Ruhiyyah fi Al-Islam, (Mesir: Al-Hai’at Al-Mishriyyah Al-Ammah li
Al-Kitab, 1984), hal. 182.
[12] Kautsar Azhari Noer, Ibn
Al-Arabi Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan, (Paramidana, 1995), hal 162.
[13] Ibn Arabi, Fushush..., Op.Cit. hal.
70.
[14] Muhammad Yasir Syaraf, Harakat
At-Tasawuf Al-Islam, (Mesir : Al-Hai’at Al-Mishiriyyah Al-Ammah li Al-Kitab,
1987), hal. 221-222.
[15]
Muhammad mustafa Hilmi, Al-Hayat...,
Op. Cit. Hal. 180
[16]Dr. M. Solihin, M. Ag., Tokoh-tokoh...Op.Cit.,
hal. 162.
0 komentar:
Posting Komentar