ASBAB AL-WURUD
A. Pendahuluan
Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber
pengetahuan tersebut ada dua macam, yaitu naqli dan aqli. Sumber
yang bersifat naqli merupakan pilar dari sebagian besar ilmu pengetahuan
yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus maupun masalah
dunia secara umum. Sumber naqli yang paling otentik bagi umat Islam
dalam hal ini adalah Al-Qur’an dan hadits.[1]
Hadits merupakan salah satu sumber ajaran agama Islamyang menduduki
posisi sangat penting, baik secara struktural maupun secara fungsional. Secara
struktural hadits menduduki posisi kedua setelah Al-Qur’an sebagai sumber
ajaran Islam baik teologis, syariat dan akhlak. Sedangkan secara fungsional,
hadits merupakan penjelas terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang sebagian bersifat
umum dan global.[2]
Namun hadits yang disabdakan Rasulullah ada yang bersifat jelas, tetapi
ada yang belum jelas dan harus dicari kejelasannya untuk dapat memahami hadits
tersebut. Salah satu ilmu yang berguna dalam menjelaskan maksud hadits adalah
ilmu asbab al-Wurud, ilmu ini sangat penting untuk mengetahui latar
belakang keluarnya hadits sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman
hadits.[3]
Asbab al-wurud sangat penting karena menolong kita dalam memahami hadits, sebagaimana
pentingnya ilmu asbab an-nuzul dalam memahami isi kandungan al-Qur’an.[4]
Adapun batasan penulisan makalah ini agar lebih terarah penulis hanya
menjelaskan tentang: (1) Pengertian asbab al-wurud, (2) Fungsi asbab
al-wurud, dan (3) Cara mengetahui asbab al-wurud.
B. Pengertian
Asbabul Wurud
Secara Etimologis asbab al-wurud
merupakan susunan idhafat yang berasal dari gabungan kata asbab
dan al-wurud. Kata asbab merupakan bentuk jamak dari kata sabab
yang berarti tali atau penghubung, yakni segala sesuatu yang lain, atau
penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan kata wurud merupakan bentuk masdar
dari kata warada-yaridu-wurudan, yang berarti datang atau samapai kepada
sesuatu.[5]
Sehingga asbab al-wurud disini dapat diartikan sebagai sebab-sebab
datangnya atau keluarnya hadits nabi.
Sedangkan secara Istilah ada beberapa pengertian asbab al-wurud
yang dapat kita ambil dari beberapa pakar hadits:
1. Menurut Hasby Ash-Shiddieqy asbab
al-wurud adalah:
علم يعرف به السبب الذي ورد لأجله الحديث و الزمان الذي
جاء فيه
Artinya:
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi
menurunkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menurunkan itu.[6]
2. Menurut Imam Jalaluddin Abdurrahman
al-Sayuti pada kitabnya Al-Luma’
fi Asbab al-Wurud al-Hadits:
إنه ما يكون طريقا لتحديد
المراد من الحديث من عموم أو خصوص أو إطلاق أو تقييد أو نسخ أو نحو ذلك
Artinya:
Sesuatu yang menjadi jalan untuk menentukan maksud
suatu hadits yang bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, atau untuk
menentukan ada tidaknya naskh (penghapusan) dalam suatu hadits, atau yang
semisal dengan hal itu.[7]
3. Abdul Mustakim mendefinisikan:
علم يعرف به الاسباب التي
ورد لاجلها الحديث والزمان الذي جاء به ما ورد الحديث أيام وقوعه من حادثة أو
سؤال الذي يساعد على تحديد المراد من الحديث من عموم أو خصوص أوإطلاق أو تقييد أو
نسخ أو نحو ذلك
Artinya:
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab dari masa Nabi
menuturkan sabdanya. Atau ilmu yang mengkaji ttentang hal-hal yang terjadi di
saat hadits di sampaikan, berupa peristiwa atau pertanyaan, yang hal itu dapat
membantu atau menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum atau khusus,
mutlaq atau muqayyad, atau untuk menentukan ada tidaknya naskh (penghapusan)
dalam suatu hadits, atau yang semisal dengan hal itu.[8]
Dari definisi –definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu asbab
al-wurud adalah ilmu yang menjelaskan sebab-sebab keluarnya Hadits, baik
berupa peristiwa atau keadaan yang terjadi, waktu maupun karena ada pertanyaan.
Sehingga dapat memahami kejelasan hadits baik dari segi umum dan khusus, mutlaq
atau muqayyad, atau untuk menentukan ada tidaknya naskh
(penghapusan) dalam suatu hadits
C. Fungsi Asbab
al-Wurud.
Dari pengertian asbab al-wurud di atas maka dapat dilihat ada beberapa
fungsi dari asbab al-wurud ini, yaitu:
1. Menentukan adanya takhshish hadits
yang bersifat umum.
2. Membatasi pengertian hadits yang masih mutlaq.
3. Men-tafshil (merinci) hadits yang
masih bersifat globab (umum).
4. Menentukan ada atau tidaknya nasikh-mansukh
dalam suatu hadits.
5. Menjelaskan ‘illah (sebab-sebab)
ditetapkannya suatu hukum
6. Menjelaskan maksud suatu hadist yang masih musykil.
(sulit dipahami atau janggal).[9]
Contoh dari fungsi asbab al-wurud sebagai takhsis terhadap
sesuatu yang masih bersifat umum dan juga menjelaskan ‘illah
(sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum, misalnya hadits:
صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم
Artinya:
Shalat orang yang sambil duduk pahalanya
setengah dari orang yang shalat sambil berdiri.
Asbab al-wurud dari hadits di atas adalah ketika penduduk Mandinah sedang terjangkit
suatu wabah penyakit. Kebanyakan para sahabat melakukan shalat sunnah sambil
duduk. Ketika itu Rasulullah datang menjenguk dan mengetahui bahwa para sahabat
suka melakukan shalat sunnah sambil duduk walaupun dalam keadaan sehat.
Kemudian Rasulullah bersabda sebagaimana hadits di atas. Mendengarkan sabda
Rasulullah para sahabat yang tidak sakit kemudian shalat sunnah dalam berdiri.
Dari asbab al-wurud tersebut maka dapat dipahami bahwa kata
“shalat” (yang masih bersifat umum pada hadist tersebut) adalah sahalat sunnah
(khusus).[10]
Dan dari penjelasan tersebut dapat dipahami pula bahwa boleh melakukan shalat
sunnah dalam keadaan duduk namun hanya akan mendapatkan pahala setengah apabila
dalam keadaan sehat. Tetapi apabila dalam keadaan sakit dan melakukan shalat
dalam keadaan duduk maka akan mendapatkan pahala penuh. Hal ini merupakan
penjelasan dari sebab-sebab ditetapkannya suatu hukum shalat sunnah sambil sambil
duduk.
Contoh dari asbab al-wurud yang berfungsi sebagai pembatasan
terhadap pengertian mutlaq sebagaimana hadits berikut:
قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم من سن فى الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها
ولا ينقص من أجورهم شيء، من سن فى الإسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر
من عمل بها ولا ينقص من أزوارهم شيء
Artinya:
Rasulullah bersabda: barang siapa melakukan
suatu sunnah hasanah (tradisi atau prilaku yang baik) dalam Islam, lalu sunnah
itu diamalkan oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya
seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.
Demikian pula sebaliknya, barang siapa yang melakukan suatu sunnah sayyi’ah
(tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia
akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa mengurangi sedikit pun dosa yang
mereka peroleh.
Asbab al-wurud hadits tersebut adalah ketika Rasulullah bersama-sama sahabat,
tiba-tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh.
Ternyata mereka adalah orang-orang miskin, meliahat hal demikian Rasulullah
merasa iba kepada mereka. Setelah shalat berjama’ah Rasulullah berpidato yang
menganjurkan untuk berinfak. Mendengar hal tersebut seorang sahabat keluar dan
membawa sekantong makanan untuk orang-orang miskin tersebut. Melihat hal tersebut
maka Rasulullah bersabda sebagaimana hadits di atas.
Melihat asbab al-wurud di atas, kata sunnah yang masih bersifat
mutlak (belum dijelaskan oleh pengertian tertentu) dapat disimpulkan adalah
sunnah yang baik, dalam hal ini adalah bersedekah.[11]
Contoh asbab al-wurud yang berfungsi untuk menentukan adanya suatu nasikh
– mansukh sebagaimana hadits berikut:
Hadits pertama:
أفطر الحاجم و المحجوم
Artinya:
Batal puasa bagi orang yang membekam dan
yang dibekam
Hadits kedua:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يفطر من قاء ولا من
احتلم ولا من احتجم
Artinya
Rasulullah bersabda: Tidak batal puasa
orang yang muntah, orang yang bermimpi kemudian keluar sperma dan orang yang
berbekam.
Kedua hadits tersebut tampak saling bertentangan, yang pertama
menyatakan bahwa orang yang membekam dan dibekam sama-sama batal puasanya.
Sedangkan hadits kedua menyatakan sebaliknya. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ibn
Hazm, hadits pertama sudah di-nasikh (dihapus) dengan hadits kedua.
Karena hadits pertama lebih awal datangnya dari hadits kedua.[12]
Contoh asbab al-wurud yang menjelaskan maksud hadits yang masih musykil
(sulit dipahami atau janggal) adalah sebagaimana hadits berikut:
من تشبه قوما فهو منهم
Artinya:
Barang siapa yang menyerupai suatu kaum
maka termasuk golongan mereka.
Asbab al-wurud dari hadits ini adalah ketika dalam peperangan umat Islam dengan kaum
kafir, Rasulullah kesulitan membedakan mereka mana yang teman dan mana yang
lawan. Kemudian Rasulullah menginstruksikan kepada pasukan umat Islam agar
memakai kode tertentu agar berbeda dengan musuh. Dan yang masih menggunakan kode seperti musuh
akan kena panah kaum pasukan Islam.[13]
D. Cara-cara
Mengetahui Asbab al-Wurud
Diantara beberapa cara mengetahui asbab al-wurud dari hadits-hadits adalah
sebagai berikut:
1. Asbab
al-wurud dapat
dilihat pada hadits tersebut, karena asbab al-wurud terdapat pada hadits
itu sendiri.[14]
Contoh:
أنه قيل لرسول الله صلى
الله عليه وسلم أتوضأ من بئر بضاعة، وهي بئر يطرح فيه الحيض، ولحم الكلب و النتن
فقال : الماء طهور لا ينجسه شئ
Artinya:
Bahwa beliau pernah ditanya oleh seseorang
tentang perbuatan yang dilakukan Rasulullah: Apakan tuan mengambil air wudhu
dari sumur Budho’ah, yakni sumur yang dituangi darah, daging anjing dan
barang-barang busuk? Jawab Rasululla: Air itu suci, tidak ada sesuatu yang
menjadikannya najis.
2. Asbab al-wurud yang dapat dilihat pada hadits lain, karena asbab
al-wurud hadits tersebut tidak tercantum pada haditsnya sendiri.[15]
Contoh dalam hal ini adalah pada hadits
tentang Niat dan hijrah berikut ini:
... ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما
هاجر إليه.
Artinya:
“… Barang siapa yang hijrahnya karena untuk
mendapatkan keduniaan atau perempuan yang bakal dinikahinya, maka hijrahnya itu
hanya kepada apa yang diniatkannya saja.”
Asbab al-wurud pada hadits tersebut tidak
terdapat pada hadits itu sendiri, namun terdapat pada hadits lain, yaitu pada
hadits yang ditakhrijkan oleh Al-Thabarany yang bersanad tsiqah dari Ibnu
Mas’ud berikut ini:[16]
كان بيننا رجل خطب امرأة
يقال لها ( ام قيش ) , فأبت أن يتزوجها حتى يهاجر، فهاجر فتزوجها كنا نسميه (
مهاجر ام قيش )
Artinya:
Konon pada jama’ah kami terdapat seorang laki-laki
yang melamar seorang perempuan yang bernama Ummul Qais. Tetapi perempuan itu
menolak untuk dinikahinya, kalau laki-laki pelamar tersebut enggan berhijarh ke
Madinah. Maka ia lalu hijrah dan kemudian menikahinya. Kami namai laki-laki itu
Muhajir Ummi Qais”
Contoh pada hal ini dapat kita lihat pada
hadits berikut:
الميت يعذب ببكاء أهله عليه
Artinya:
Si Mayyit akan diazab dengan sebab tangisan
keluarga atasnya.
Asbab al-wurud pada hadits ini terdapat pada penjelasan
Aisyah bahwa ketika jenazah orang Yahudi melewati Rasulullah, mereka menangisi
mayyit tersebut sehingga Rasulullah bersabda demikian. Hal ini karena
disebabkan pada tradisi menangisi mayyit orang Yahudi ketika itu dengan
ratapan, mencakar atau menampari wajah sendiri atau pun menyobek-nyobek baju,
sehingga menggambarkan ketidakrelaan dengan takdir kematian tersebut. Sedangkan
tangisan dengan wajar sebagai bentuk belasungkawa diperbolehkan.[18]
4. Asbab
al-wurud melalui ijtihad,
hal ini dilakukan apabila ada ditemukan riwayat yang jelas mengenai asbab
al-wurud. Ijtihad ini dilakukan dengan cara melihat sejarah sehingga mampu
menghubungkan antara ide dalam teks hadits dengan konteks munculnya hadits.[19]
Contoh hadits:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
Artinya:
Rasulullah bersabda: Tidak akan sukses suatu kaum yang
menyerahkan urusannya (untuk memimpin) mereka kepada perempuan.
E. Penutup
Dari uraian makalah di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. asbab
al-wurud adalah ilmu
yang menjelaskan sebab-sebab keluarnya Hadits, baik berupa peristiwa atau
keadaan yang terjadi, waktu maupun karena ada pertanyaan. Sehingga dapat
memahami kejelasan hadits baik dari segi umum dan khusus, mutlaq atau muqayyad,
atau untuk menentukan ada tidaknya naskh (penghapusan) dalam suatu hadits
2. Fungsi dari asbab al-wurud ini,
yaitu:
-
Menentukan adanya takhshish hadits yang
bersifat umum.
-
Membatasi pengertian hadits yang masih mutlaq.
-
Men-tafshil (merinci) hadits yang masih
bersifat globab (umum).
-
Menentukan ada atau tidaknya nasikh-mansukh.
-
Menjelaskan ‘illah (sebab-sebab) ditetapkannya
suatu hokum.
-
Menjelaskan maksud suatu hadist yang masih musykil.
3. Cara mengetahui asbab al-wurud dari
hadits-hadits adalah sebagai berikut:
-
Asbab al-wurud dapat dilihat pada hadits tersebut,
-
Asbab al-wurud yang dapat dilihat pada hadits lain,
-
Asbab al-Wurud dapat dilihat pada aqwal shahabat atau informasi
shahabat
-
Asbab al-wurud melalui ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Damsyiqi, Ibu Hamzah Al-Husaini
Al-Hanafi, Asbabul Wurud I: Latar belakang Historis Timbulnya Hadits-Hadits
Rasul, penerjemah Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim, Jakarta: Kalam Mulia,
2008.
Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, penerjemah Mifdhol Abdurrahman dari judul asli, Mabahits
fi Ulum al-Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasby, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003.
Mustakim, Abdul, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma
Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadits Nabi, Yogyakarta:
IDEA Press, 2008.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mustalahul
Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1974.
Zuhri, Muh., Hadits Nabi; Telaah
Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003.
[1]Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, penerjemah
Mifdhol Abdurrahman dari judul asli, Mabahits fi Ulum al-Hadits,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009),
h. 19.
[2]Abdul Mustakim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi Berbagai
Teori dan Metode Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta: IDEA Press, 2008), h.
25.
[3]Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim (penterjemah), Kata Pengantar
dalam Ibu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi Ad-amsyiqi, Asbabul Wurud I: Latar
belakang Historis Timbulnya Hadits-Hadits Rasul, (Jakarta: Kalam Mulia,
2008), h. v.
[4]Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), h. 121.
[7]Abdul Mustakim, Ilmu …, h. 29.
[10]Abdul Mustakim, Ilmu …, h. 45.
[13]Muh. Zuhri, Hadits Nabi; Telaah Historis dan Metodologis,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), h. 143.
[14]Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma’arif,
1974), h. 327.
[16]Fatchur Rahman, Ikhtisar …, h. 329.
[17]Abdul Mustakim, Ilmu …, h. 40.
0 komentar:
Posting Komentar