ISLAMISASI SAINS NAQUIB AL ATTAS
A. Pendahuluan
Agama Islam merupakan agama yang berisi
semua nilai-nilai kemanusiaan, sosial, budaya bahkan pendidikan. Hal ini dapat
dilihat pada ayat pertama yang diturunkan oleh Allah adalah berisi tentang
pendidikan. Perkembangan pendidikan di dunia Islam berkembang pesat dimulai pada
masa Daulah Abbasiyah dengan didirikannya Bait al-Hikam sebagai pusat
pengembangan ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1970-an perkembangan ilmu
pengetahuan umat Islam mengarah kepada pemikiran Islamisasi Sains. Kajian dalam
Islamisasi Sains ini dapat dinilai sebagai manifestasi dari perkembangan
intelektualisme yang berkembang secara global di kawasan dunia Islam.
Gagasan Islamisasi Sains ini merupakan
kelanjutan dari gagasan Seyyed Husein Nasr pada tahun 1968 dengan karyanya The
Encounter of Man and Nature, gagasan ini kemudian menjadi bahan pembicaraan
yang penting dalam konfrensi Dunia I tentang Pendidikan Muslim (World
Conference on Muslim Education) di Makkah pada tahun 1977.[1]
Salah satu gagasan dalam konfrensi tersebut
dikemukakan oleh Syed Naquib Al-Attas dalam makalahnya yang berjudul Preliminary
Thoughts on the Nature of Knowledge and Definition and the Aims of Education,
yang kemudian dijadikan salah satu bab dari bukunya yang berjudul Islam and
Secularism.
Al-Attas dalam makalahnya menyebutkan bahwa
tantangan terbesar yang secara diam-diam dihadapi oleh umat Islam pada zaman
sekarang ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam kebodohan, tetapi
pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban
Barat.[2]
1
|
B. Biografi Dan
Karya Naquib Al Attas
Naquib Al-Attas mempunyai nama lengkap Prof.
Dr. Syed[3]
Muhammad al-Naquib Al-Attas merupakan seorang cendikiawan muslim asal
Indonesia-Malaysia. Al-Attas dilahirkan di Bogor Jawa Barat pada tanggal 5
September 1931. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah Al-Attas berasal dari
Saudi Arabia dan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus merupakan kerabat Raja
Sunda Sukapura, Jawa Barat.[4]
Sejak berumur 5 tahun Al-Attas tinggal di
Johor Malaysia dan memulai masa pendidikannya ketika ia masuk ke Ngee Neng
English Premary School. Ketika jepang menduduki Malaysia ia kembali ke Jawa
Barat dan belajar agama dan bahasa Arab di Madrasah Al-Urwatul Ustqa di
Sukabumi.
Pada tahun 1946 Al-Attas kembali ke
Malaysia dan belajar lagi di Bukit Zahra School kemudian melanjutkan di English
College Johor Baru. Setamat dari sekolah Al-Attas masuk dinas tentara
hingga mencapai pangkat Letnan. Namun ia keluar dari dinas ketentaraan karena merasa
tidak sesuai dengan bidangnya dan masuk kuliah ke Universitas Malaya, kemudian
melanjutkan ke Mc.Gill University, Montreal kanada sampai mendapat gelar
MA. Dan mendapatkan gelar Ph.D di School of Oriental and African Studies
University of London.[5]
Sepulang dari pendidikannya Al Attas
mengabdikan dirinya sebagai dosen di Universitas Malaya dan juga termasuk
sebagai pendiri Universitas Kebangsaan Malaysia. Selanjutnya pada tahun 1978
Al-Attas berhasil mendirikan ISTAC (International Institute of Islamic
Thought and Civilization) dan ia sebagai direkturnya.[6]
Karya-karya Al-Attas sebagian sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi salah satu rujukan tentang
pendidikan islam. Karya-karya Al-Attas sebagai berikut: The Mysticism of
Hamzah Fansuri (1969), Raniri and the Wujudiyah of 17th
century Acheh, Sufism as understood and Practiced Among the Malays (1966), The
Origin of the Malay Sha’ir (1968), Concluding Postcript to origin of the
Malay Sha’ir (1971), Islam in the History and Culture of the Malays (1972),
Comment on the Re-examination of al-Rainiri’s Hujjatul Siddiq: a refutalion,
islam: the cncept of religion and the foundation of ethics and morality (1975),[7] Rangkaian
Ruba’iyyat (1959), Some Aspect of Sufism an Understood and Practiced
Among the Malays (1963), Preleminary Statement on a General Theory of
the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago (1969), The Correct
date of the Trengganu Inscription (1971), Islam the Concept of Religion
and the Foundation of Ethic and Morality (1976) Tejemahan berjudul Tantangan
Islam, Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and Definition
and the Aims of Education (1977), Islam and Secularism (1978)
Terjemahan berjudul Islam dan Sekularisme, dan juga dengan judul Dilema
Kaum Muslimin[8],
The Concepts of Education in Islam: A Franework for an Islamis Philosophy of
Education (1980), Terjemahan berjudul Islam dan Filsafat Sains, A
Comentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniry (1986), The Oldest
Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the `Aqa’id of
al-Nasafi (1988), Islam and
the Philosophy of Science (1989), The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul (1990), On Quiddity
and Essence (1990), The
Intuition of Existence (1990), The Meaning and Experience of Happiness in Islam (1993), The Degrees
of Existence(1994), Prolegomena
to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the
Worldview of Islam (1995), Risalah
untuk Kaum Muslimin (2001), Tinjauan
Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam (2007).[9]
C. Sains
Menurut Naquib Al-Attas
Sains merupakan kata serapan dari bahasa inggris yaitu science.
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia sains mempunyai tiga pengertian: (1) ilmu
pengetahuan pada umumnya; (2) pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia
fisik, termasuk di dalamnya botani, fisika, kimia, geologi, zoology dan sebagainya
(ilmu pengetahuan alam); (3) pengetahuan sistematis yang diperoleh dari suatu
observasi, penelitian dan uji coba yang mengarah kepada penentuan sifat dasar
atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari dan sebagainya.[10]
Secara bahasa Sains (science) menurut Al-Attas adalah ilmu
sedangkan knowledge berarti pengetahuan.[11]
Hal ini juga didukung oleh penerjemahan Jujun S. Suriasumantri yang berdasarkan
bahwa knowledge merupakan terminology generic dan science adalah
anggota (species) dari kelompok (genus) tersebut.[12]
Sumber-sumber ilmu menurut Al-Attas adalah sebagai berikut:
1. Indera-indera lahir dan batin.
Yang bertentangan dengan filsafat dan sains modern
adalah dalam hal sumber dan metode ilmu. Al-attas memandang bahwa ilmu berasal
dari Tuhan dan diperoleh melalui saluran indera yang sehat. Yang dimaksud
dengan indera yang sehat ini mengacu kepada persepsi dan pengamatan yang
mencakup lima indera lahiriyah, yakni perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihat
dan pendengar. Adapun indera batin adalah indera umum (common sence),
representasi, estimasi, ingatan dan pengingatan kembali dan imajinasi.
2. Akal dan intuisi
Mengenai akal yang sehat (sound reason), kita
memaksudkannya dalam artian tidak hanya terbatas pada unsur-unsur inderawi,
atau pada bagian mental yang secara logis mensistematisasi dan menafsirkan
fakta-fakta pengalaman inderawi atau yang mengubah data pengalaman inderawi
menjadi suatu citra akliah yang dapat dipahami setelah melalui proses
abstrkasi. Sedangkan intuisi adalah pemahaman langsung akan
kebenaran-kebenaran, menurut Al-Attas intuisi datang pada orang yang
merenungkan secara terus menerus hakikat relitas ini, dan atas kehendak Tuhan
ia akan mendapat intuisi tersebut.
3. Otoritas
Dalam hal otoritas ada dua macam otoritas yang dapat
dijadikan sumber ilmu, yaitu pertama otoritas yang terbentuk oleh kesepakatan
bersama, yang termasuk di dalamnya sarjana, ilmuawan, dan orang yang berilmu
pada umumnya yang dapat dipersoalkan oleh nalar dan pengalaman. Sedangkan yang
kedua adalah otoritas juga dikukuhkan oleh kesepakatan umum tetapi bersifat
mutlak.[13]
D. Islamisasi
Sains Menurut Naquib Al-Attas
Pengertian Islamisasi menurut bahasa adalah pengislaman,[14] sehingga
Islamisasi Sains merupakan pengislaman sains. Lebih jauh lagi Al-Attas
menerangkan tentang islamisasi yaitu pembebasan manusia dari unsur magic,
mitologi, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan serta dari penguasaan sekuler
atas akal dan bahasanya. Ini berarti pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh
pandangan hidup yang diwarnai oleh kecenderungan sekuler, primordial dan
mitilogis. Jadi islamisasi ilmu pengetahuan adalah program epistimologi dalam
rangka membangun peradaban Islam. Bukan maslah “labelisasi” seperti islamisasi
teknologi, yang secara peyoratif dipahami sebagai islamisasi pesawat terbang,
telekomunikasi dan sebaginya. Bukan pula islamisasi dalam dalam arti konversi
yang terdapat dalam pengertian Kristenisasi.[15]
Munculnya Islamisasi Sains karena Sains yang berkembang di dunia barat
saat ini hanya berdasarkan pada rasio dan panca indera, jauh dari wahyu dan
tuntunan Tuhan. Sehingga walaupun menghasilkan teknologi yang sangat bermanfaat
bagi manusia namun juga menimbulkan bencana yang sangat dasyat.[16]
Sebagai contoh teknologi pesawat terbang sangat membantu manusia dalam
transportasi namun dengan teknologi pesawat terbang pulalah pemboman terjadi
dimana-mana.
Pada ide Islamisasi Sains Al-attas hanya membatasi pada ilmu-ilmu
kontemporer, tidak termasuk ilmu-ilmu sains Islam berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah yang dibangun oleh para sarjana (ulama) zaman dahulu. Karena menurut
sebagian ulama turast islami tidak termasuk dalam proses islamisasi
sebab ia tidak pernah terpisah dari Tuhan sebagai hakikat yang sebenarnya dan
sumber segala ilmu.[17]
Menurut Al-Attas proses Islamisasi Sains tidak akan bisa berjalan dengan
cara menerima pengetahuan barat sekarang ini seperti apa adanya dan lalu
berharap akan mengislamkannya dengan hanya mencangkokkan atau transplantasi
dengan ilmu-ilmu atau prinsip-prinsip Islam. Hal ini akan mengakibatkan
hasil-hasil yang bertentangan yang kesemuanya tidak bermanfaat.
Islamisasi yang tepat menurut Al-attas adalah merumuskan dan memadukan
unsur-unsur Islam yang esensial serta konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan
suatu komposisi yang akan merangkum pengetahuan inti itu untuk kemudian
dikembangkan dalam sistem pendidikan Islam dari tingkat bawah hingga tingkat
atas dalam gradasinya masing-masing yang didesain sedemikian agar sesuai dengan
standar untuk masing-masing tingkat.[18]
Sehubungan dengan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis, menurut
Al-attas setiap cabang harus diserapi dengan unsur-unsur dan konsep-konsep
kunci islam setelah unsur-unsur dan konsep-konsep kunci asing dibersihkan dari
semua cabangnya.[19]
Pembuangan unsur-unsur asing dari semua cabang ilmu tersebut mengacu terutama
pada ilmu-ilmu kemanusiaan, meski juga harus diperhatikan bahwa dalam ilmu-ilmu
alam dan terapan khususnya serta ilmu-ilmu yang berhubungan dengan penafsiran
fakta-fakta dan perumusan teori, proses pembuangan juga harus dilakukan.
Pada pengetahuan-pengetahuan ini harus ditambahkan dengan
disiplin-disiplin baru yang berkaitan dengan:
1. Perbandingan agama dari sudut pandang
Islam.
2. Kebudayaan dan peradaban barat. Disiplin
ini harus dirancang sebagai sarana bagi orang-orang muslim untuk memahami Islam
sehubungan dengan agama, kebudayaan dan peradaban lain, khususnya kebudayaan
dan peradaban yang selama ini dan di masa akan datang yang akan berbentrokan
dengan Islam.
3. Ilmu-ilmu linguistik, seperti bahasa-bahasa
Islam, tata bahasa, Leksokografi dan Literatur.
4. Sejarah Islam, seperti pemikiran kebudayaan
dan peradaban Islam, perkembangan ilmu-ilmu sejarah Islam, filsafat dan sains
Islam dan Islam sebagai sejarah dunia.[20]
Akhirnya dengan mengacu pada ilmu-ilmu
rasional, intelektual dan filosofis serta pengisolasian dari unsur-unsur dan konsep-konsep
kunci asing yang telah tersusupkan ke dalamnya, maka unsur-unsur dan
konsep-konsep asing harus dikenali. Menurut Al-Attas unsur dan konsep asing
tersebut berasal dari tradisi keagamaan dan intelektual Barat, unsur-unsur tersebut
adalah:
1. Konsep dualisme yang mencakup cara pandang
mereka tentang hakikat dan kebenaran.
2. Dualisme antara jiwa dan jasad, pemisahan
antara intellectus dan ratio serta penekanan meraka atas validitas ratio.
Perpecahan metodologis mereka berkenaan dengan rasionalisme dan empirisme.
3. Doktrin humanism mereka dan ideology
sekulernya.
4. Konsep tragedy mereka, terutama dalam
kesustraan.
Semua proses pengisolasian konsep-konsep kunci
ini dari semua cabang ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis merupakan
proses dari islamisasi sains.[21]
E. Penutup
Dari uraian makalah di atas maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Naquib Al-Attas adalah seorang cendikian
muslim yang sangat produktif, dimana dapat dilihat dari buku-bukunya hingga
tahun 2007 mencapai puluhan. Adapun kajian utama dari berbagai literaturnya
adalah tentang pendidikan Islam.
2. Secara bahasa Sains (science)
menurut Al-Attas adalah ilmu sedangkan knowledge berarti pengetahuan.
3. Islamisasi sains dianggap perlu oleh Naquib
Al-Attas karena melihat perkembangan ilmu pengetahuan Barat yang tidak hanya
memberikan manfaat bagi manusia, namun juga memberikan bencana.
Setelah melihat islamisasi sains menurut
Naquib Al-Attas dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, penulis ingin
mendiskusikan tentang:
1. Bagaimana posisi Madrasah (MI, MTs, MA dan
PTAI) dengan Islamisasi sains?
2. Kenapa kebanyakan Madrasah-madrasah
memiliki mutu lebih rendah dibanding dengan sekolah umum? Bagaimana memecahkan
permasalahan tersebut?
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Syed Naquib (ed.), Aims and
Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1977.
__________________, Dilema Kaum Muslimin,
Penerjemah Anwar Wahdi Hasi dan Mochtar Zoerni, Surabaya: Bina Ilmu, 1986.
__________________, Islam dan
Sekularisme, penerjemah Karsidjo Djojosuwarno, Bandung: Penerbit Pustaka,
1981.
__________________, Konsep Pendidikan
Dalam Islam, penerjemah Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1988.
Arifin, Syamsul, dan kawan kawan, Spiritualisasi
Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarta: Sipress, 1996.
Badaruddin, Kemas, Filsafat Pendidikan
Islam; Analisis Pemikiran Prof.Dr.Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Berg, L.W.C Van Den, Orang arab di
Nusantara, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
Handrianto, Budi, Islamisasi Sains,
Jakarta: Al-Kautsar, 2010.
Muhaimin, Nuansa baru Pendidikan islam
Mengurangi Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan
islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers,
2002.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu
sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka sinar Harapan, 2003.
Zulkifli, Gelar dalam Islam,
Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2009
[1]Syamsul Arifin, dan kawan kawan, Spiritualisasi Islam dan Peradaban
Masa Depan, (Yogyakarta: Sipress, 1996), h. 77.
[2]Muhaimin, Nuansa baru Pendidikan islam Mengurangi Benang Kusut Dunia
Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 38.
[3]Syed sama dengan sayyid merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada
para keturunan Nabi Muhammad saw. Syed biasanya hanya digunakan untuk wilayah
Asia Selatan dan Asia Tenggara. Lihat Zulkifli, Gelar dalam Islam,
(Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2009), h. 65. Lihat juga L.W.C Van Den Berg,
Orang arab di Nusantara, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), h. 33. Namun
di Indonesia sendiri gelar tersebut menggunakan gelar seperti pada tempat
asalnya yaitu sayyid
[4]Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam; Analisis Pemikiran
Prof.Dr.Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), h. 9.
[6]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan islam: Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 121.
[7]Syed Naquib Al-Attas (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education,
(Jeddah: King Abdul Aziz University, 1977), h. 18.
[8]Syed Naquib Al-Attas, Dilema Kaum Muslimin, Penerjemah Anwar
Wahdi Hasi dan Mochtar Zoerni, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986).
[10]Pusat Bahasa Departemen Pendidikan nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 978.
[11]Zainal Abidin M. Baqir (penyunting) dalam Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
Islam dan Filsafat sains, diterjemahkan oleh Saiful Muzani, (Bandung:
Mizan, 1995), h. 21.
[12]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: Pustaka sinar Harapan, 2003), h. 294.
[18]Syed Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, penerjemah Karsidjo
Djojosuwarno (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), h. 238.
[19]Syed Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, penerjemah
Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1988), h. 90.
0 komentar:
Posting Komentar